Juni 30, 2011

PROPHECY OF THE SISTERS


Resensi oleh Noviane Asmara 

PROPHECY OF THE SISTERS
Penulis : Michelle Zink
Penerjemah : Ida Wajdi
Penyunting : Aisyah
Korektor : Tisa Anggriani
Tebal : 359 Halaman
Harga : Rp 68.500
Cover : Soft Cover
Genre : Dark Fantasy
Penerbit : Matahati
Cetakan : I, Maret 2011

Anak kembar selalu membuat saya takjub. Takjub karena mereka itu unik. Apalagi bila mereka adalah kembar identik. Dari segi fisik, semuanya sama. Postur tubuh, bentuk wajah bahkan kadang sampai kepada sikap dan hobi, walaupun hal-hal yang menyangkut kepribadian akan selalu berbeda.
Tapi ini bukanlah tentang cerita anak kembar yang biasa. Bbagaimana bila ada gadis kembar identik yang sifatnya saling bertolak belakang. Mereka berasal dari satu sel telur yang sama, lahir dari rahim yang sama pula, tapi ketika tumbuh dan berkembang, sifat mereka bagai kutub utara dan selatan. Menjadi dua sosok berbeda, sosok protagonist dan antagonis.

Dalam buku pertama seri Prophecy of the Sisters ini, dikisahkan dua gadis kembar identik berusia 16 tahun, Alice dan Amalia Miltrorpe.
Keduanya tumbuh dan besar bersama dibawah asuhan Bibi Virginia, saat sang Ibu yang merupakan kembarannya meninggal dunia.
Pada usia 16 tahun, kedua gadis kembar itu bersama adik lelaki mereka, Henry yang hidup mengandalkan kursi roda akibat kakinya yang lumpuh, menjadi yatim piatu. Ayah mereka, Thomas Milthorpe, meninggal dengan cara yang tidak wajar, seperti kematian Ibu meraka sebelumnya.

Kematian sang ayah, membawa banyak perubahan terhadap kehidupan Alice, Lia dan Henry Milthorpe.
Mendadak muncul tanda aneh di pergelangan tangan Lia, semacam tato timbul. Jorgumand. Tanda yang menonjol seperti parut luka, dengan pola yang membentuk garis tempat ular itu membelit diri ke tepian lingkaran hingga mulutnya memakan ekornya sendiri.
Kemunculan tanda ini disertai dengan munculnya beberapa kejadian janggal lainnya. Ditemukannya buku berkulit sejuk dan kering berhias rancangan mencetak pola figur-figur aneh dan sangat tua, di perpustakaan milik ayah mereka. Buku yang hanya berisi satu halaman saja, yang memuat tulisan berbahasa latin, yang akhirnya diketahui adalah sebuah ramalan kuno. Ramalan yang kelak menentukan takdir kehidupan si Kembar Milthorpe dan juga yang lainnya.

Melalui api dan harmoni, umat manusia bertahan
Hingga dikirimnya para Garda,
Yang mengambil istri dan kekasih dari seorang pria,
Menimbulkan kemurkaan-Nya
Cerita ini dimulai darr sini :
Dua saudari , terbentuk dari samudra bergelombang yang sama,
Yang satu sang Garda, yang lain sang Gerbang.
Yang satu penjaga kedamaian,
yang lain berukar sihir untuk pemujaan.
Tatkala para Saudari melanjutkan pertempuran
Hingga Sang Gerbang memanggil mereka kembali
Atau sang Malaikat membawa Kunci-Kunci menuju Neraka
Tentara, berbaris melalui Gerbang
Samael, sang Iblis, melalui sang Malaikat
Sang malaikat, hanya dijaga oleh perlindungan selubung halus
Emat tanda, Empat kunci, Lingkaran Api
Terlahir dalam napas pertama Samhain
Dalam bayangan Ular Batu Mistis dari Aubur
Biarkan Gerbang Malaikat mengayun tanpa Kunci
Diikuti Tujuh Tulah dan Tak Kembali
Kematian
Kelaparan
Darah
Api
Kegelapan
Kekeringan
Kehancuran
Rentangkan lenganmu, Nona Kekacauan
Malapetaka sang Iblis akan mengalir seperti sungai
Karena semuanya musnah saat Tujuh Tulah dimulai.

Ramalan tentang kehidupan dua gadis kembar yang diusir ke bumi. Ramalan itu seolah-olah menuntun dan menentukan kehidupan Alice dan Lia pada sebuah misteri dan dendam di masa lalu. Misteri yang telah ada beberapa ribu tahun yang lalu. Misteri yang merenggut kehidupan Ibu dan Ayah mereka, juga para saudari yang berkaitan dengan semua gadis kembar.

Sayangnya, sekarang Alice dan Lia berada di sisi yang berseberangan. Alice berada di sisi kelam, sisi yang telah dipilihnya. Alice yang sejak kecil telah menampakkan tanda-tanda itu. Tapi hal ini makin menjadi setelah kematian ayahnya. Sifat misterius dan bengisnya semakin terlihat. Sedangkan Lia berada di sisi satunya. Dan berniat menyelamatkan dunia semampu yang ia bisa lakukan dengan dukungan teman-temannya. Lia bertekad untuk mengakhiri ramalan itu.

Lia harus terus berjuang dan juga terus mendapatkan teror. Tapi ia tetap bertahan, walau hal itu kadang membuatnya hampir putus asa dan nyaris gila. Bagaimana tidak? Lia harus melawan adik kembarnya sendiri, adik yang telah bersama-sama dengan dirinya bahkan sejak dalam rahim Ibu mereka.
Lia bersama dua orang sahabatnya, Sonia Sorrensen dan Luisa Torelli, secara perlahan-lahan menyingkap selimut misteri yang sangat gelap yang awalnya datang dari sebuah pengkhianatan.

Dan Alice, memilih takdirnya sebagai orang yang melawan Lia. Semua ini ia lakukan karena dendam, ia merasa bahwa seharusnya ialah yang berada di posisi Lia saat ini, bukan Lia yang dalam pandangan Alice sudah merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya.

Lembar demi lembar yang kita baca, menyuguhkan ketegangan dan sensasi yang berbeda. Rasa marah, takut, dendam dan juga cinta, turut hadir menguras emosi para pembaca. Kita tidak disajikan kisah dark fantasy dengan endingnya biasa saja. Tetapi kita akan terhanyut di dalamnya, seolah-olah kita ikut mengembara bersama Lia, dengan merasakan kepedihannya dan rasa dilema untuk memilih. Kita juga akan ikut merasakan sakit hati yang dalam yang diderita Alice.
Kesedihan pun terurai panjang di sini. Bagaimana tatkala Alice dan Lia sekali lagi harus melihat kematian orang yang mereka berdua cintai mati, hanya karena keegoisan mereka.

Ending kisahnya, sungguh mengejutkan, tetapi jujur saya menyukainya, walaupun pada awalnya sulit untuk menerimanya. Saya yakin, buku sekuelnya yang berjudul Guardian of the Gate, akan sama memukaunya dengan buku ini, bahkan mungkin lebih. Begitu juga harapan saya untuk buku ketiganya Circle of Fire.

Michelle Zink tinggal di New York bersama keempat anaknya. Dia selalu terpikat pada mitos dan legenda kuno, serta tak pernah berhenti mempertanyakannya. Tetapi ketika dia menemukan jawaban atas apa yang dicarinya, lahirlah sebuah kisah. Prophecy of the Sisters adalah salah satunya.
Untuk mengenal Zink lebih lanjut dan mengetahui karya lainnya, dapt mengunjungi situs wednya di: www.michellezink.com

THE COUNT OF MONTE CRISTO


Resensi oleh Noviane Asmara 

THE COUNT OF MONTE CRISTO
Penulis : Alexandre Dumas
Penerjemah: Nin Bakdi Soemanto
Penyunting: Dhewiberta
ISBN : 978-602-8811-24-8
Tebal : 568 Halaman
Harga : Rp 55.000
Cover : Soft Cover
Penerbit : Bentang
Cetakan: I, April 2011
Harga : Rp 73.000

Ketika orang disakiti hingga kemudian hidupnya hancur, sangat wajar bila orang tersebut membalaskan dendam dan berusaha membuat hancur balik hidup orang yang pernah menyakitinya. Itu adalah hal yang sangat manusiawi. Begitu pula bagi seorang Edmond Dantes.

Edmond Dantes adalah seorang lelaki muda berumur Sembilan belas tahun yang berprofesi sebagai kelasi pertama. Dia jujur, rajin dan mempunyai semangat luar biasa pada pekerjaannya. Nasib mujur mengantarkannya meraih kesempatan mendapatkan promosi menjadi orang yang paling dipercaya.
Tetapi tidak semua manusia suka atau senang melihat manusia lainnya beruntung. Demikian pula beberapa teman Dantes. Mereka iri dan hasut terhadap keadaan Dantes yang begitu beruntung. Mereka berusaha untuk menyingkirkan Dantes dengan cara yang picik.

Ketika Dantes tengah berbahagia di acara pertunangan dengan Mercedes, gadis yang sangat dia cintai, dia tiba-tiba ditangkap untuk kemudian dipenjara atas tuduhan terhadap sesuatu yang tidak pernah dia lakukan.
Dantes didakwa menjadi mata-mata Bonapartis, karena kebetulan Dantes membawa surat dari penguasa Pulau Elba―Napoleon Bonaparte, untuk diserahkan kepada seseorang di Paris.
Akhirnya Dantes harus pasrah dan menerima kalau dirinya dikirim ke penjara di Château d’if. Dia harus menjalani empat belas tahun kehidupannya di penjara itu.

Di dalam penjara, Dantes hampir-hampir putus asa. Hingga akhirnya saat dirinya dipindahkan ke sel bawah tanah, dia bertemu dengan seorang narapidana lain yang ternyata seorang pendeta dan kelak menjadi ayah angkatnya. Dantes mendapat banyak pelajaran hidup dan ilmu pengetahuan yang luar biasa mengagumkan dari teman barunya ini. Bersama sang pendeta tersebut dia menjalani hari-harinya dengan penuh semangat. Dia pun diberitahu rahasia besar tentang harta karun yang tersimpan di Pulau Monte Cristo. Kelak harta karun inilah yang mengantarkan Dantes membalaskan semua dendamnya terhadap orang-orang yang telah berperan dalam pengkapan dirinya hingga dipenjara.

Akhirnya, hari kebebasan pun tiba. Dantes berhasil melarikan diri dari penjara Château d’if dengan cara yang sungguh cerdik tetapi penuh risiko. Nyawa taruhannya. Dia menyelundupkan dirinya di balik karung yang seharusnya berisi mayat temannya―sang pendeta yang mati karena penyakit.
Ketika karung yang berisi dirinya dilempar ke tengah lautan yang dalam, kesempatan dirinya bebas dengan tetap hidup sangat tipis.
Tetapi Tuhan memperlihatkan kuasa-Nya. Dantes berhasil membebaskan dirinya dan berenang hingga seseorang menolongnya saat dia pingsan akibat kelelahan di tengah lautan.
Setelah bebas dan menemukan dirinya menjadi sosok yang berbeda dari empat belas tahun yang lalu, seiring itu pula rencana balas dendam pun semakin terbuka lebar. Satu mata untuk satu mata, satu gigi untuk satu gigi.

Hari-hari kebebasannya tidak hanya dia pakai untuk membalaskan dendam saja, tapi juga dia isi dengan banyak kebaikan. Di balik rasa sakit hatinya, dia juga adalah seorang yang tahu cara membalas budi dengan datang dan menjelma sebagai dewa penolong di saat yang tepat.
Dantes menyamar menjadi berbagai karakter untuk mencari tahu keberadaan musuh-musuh dan juga orang-orang yang berjasa pada dirinya dan ayahnya saat dia di penjara dulu.
Sebagai contoh saat dirinya menyamar sebagai pegawai dari suatu firma yang membeli semua hutang Morrel―mantan atasannya dulu dan memberikan perpanjangan waktu tiga bulan pada Morrel untuk memenuhi kewajibannya. Sampai akhirnya Morrel bangkit dari keterpurukannya dan berhasil membangun kembali bisnisnya. Tidak hanya itu, Dantes pun memberikan mas kawin yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh putri Morrel.

Dengan harta karun yang dia temukan di Pulau Monte Cristo, dia menjadi kaya raya dan juga berkuasa. Berbekal semua ini lah, satu per satu dendamnya, dia balaskan. Adapun perjalanan kisahnya sampai seorang Edmond Dantes menjadi Count of Monte Cristo ini pun sungguh luar biasa. Dantes telah membuat rencana yang terinci dan cermat hingga hal-hal kecil, yang menghasilkan rencana pembalasan dendam yang sempurna.

Ada satu kata bijak yang mau tidak mau saya setuju dengan kata-kata tersebut.
“...tidak ada kebahagiaan atau ketidak bahagiaan di dunia ini, yang ada hanyalah perbandingan dari satu keadaan dengan yang lain. Hanya seseorang yang merasa putus asa benar mampu merasakan berkat paling tinggi...”.

Monte Cristo adalah sebuah pulau kecil di Italia yang terletak di tengah perjalanan antara Corsica dan Italia Daratan: selatan Elba dan barat Giglio. (Gambar P.Monte Cristo ultimateitaly.com)

The Count of Monte Cristo awalnya diterbitkan dalam Journal des Débats pada 28 Agustus 1844 hingga 15 Januari 1846. Diterbitkan pertama kali di Paris oleh Pétion dalam 18 volume (1844-1845) dan versi lengkap novel ini dalam bahasa Perancis diterbitkan sepanjang abad kesembilan belas.
Novel ini pun sudah diadaptasi ke dalam film dalam berbagai macam versi. Dari mulai serial televisi hingga film layar lebar.

Alexandre Dumas, pére (senior) terlahir dengan nama lengkap Dumas Davy de la Pailleterie, lahir di Villes-Cotteréts pada 24 Juli 1802 dan meninggal di Puys pada 5 Desember 1870 dalam usia 68 tahun karena stroke. Dia adalah penulis berkebangsaan Perancis paling terkenal abad 19, dikenal dengan novel-novel historisnya yang sarat dengan petualangan. Karyanya yang termasyur, The Three Musketeers dan Te Count of Monte Cristo, yang keduanya ditulis hanya dalam rentang waktu dua tahun (1844-1845). Sebagian besar novelnya, termasuk The Count of Monte Cristo dan Roman D’Artagnan, dibuat beeseri. Selain menulis novel, Dumas pun menulis drama, artikel majalah dan merupakan seorang koresponden yang berpengaruh.


The Count of Monte Cristo merupakan buku yang “seksi” karena bukan hanya tebal tapi hurufnya yang kecil-kecil. Dan bagi saya bintang empat layak untuk diberikan pada buku yang berhasil menggambarkan bahwa perbuatan tidak adil yang diterima seseorang, bisa menghasilkan dendam yang besar.
Tetapi saya merasa kurang puas saat tidak diceritakannya dengan lengkap hal-ikhwal penemuan harta karun di Pulau Monte Cristo itu. Terlalu singkat dan terlalu gampang harta karun itu ditemukan. Seolah-olah harta itu hanya disimpan di suatu tempat yang mudah sekali untuk ditemukan tanpa harus berusaha sangat keras.
Tapi sempat saya dibuat mual dan merinding tatkala saya sampai pada bagian Mozaletta―hukuman yang sangat sadis, di mana orang yang menerima hukuman itu harus rela kepalanya dihantam dengan gada untuk kemudian digorok lehernya dan diinjak-injak perutnya sehingga darah akan mengucur deras pada lubang yang menganga di leher akibat gorokan pisau sang algojo. Sungguh hukuman yang sangat tidak berperikemanusiaan. Tetapi ironisnya sangat dinikmati oleh masyarakat yang menyaksikannya kala itu, bahkan kemudian langsung menggelar pesta karnaval yang meriah, seakan-akan hukuman sadis itu tidak pernah berlangsung.

THE HERETIC'S DAUGHTER


Resensi oleh Noviane Asmara 
THE HERETIC'S DAUGHTER: 
Paranoia yang ironisnya menjamur di tengah ketaatan beribadah 
Penulis : Kathlenn Kent
Penerjemah : Leinovar Bahfein
Korektor : Tisa Anggriani
Tebal : 282 Halaman
ISBN : 9786029625554
Cover : Soft Cover
Genre : Historical Fiction
Penerbit : Matahati
Cetakan : I, Mei 2011


Selalu saja menarik untuk saya, bila suatu buku diangkat berdasarkan sejarah yang pernah ada. Karena sejarah menandakan adanya peristiwa yang terjadi di masa lalu. Sejarah tidak dapat diubah sampai kapan pun, bahkan bila hal itu telah melewati beberapa dekade, abad atau milenium sekalipun.

Kali ini Matahati menerbitkan buku dengan judul The Heretic’s Daugter yang ber-genre fiksi sejarah. Buku yang mengambil setting Massachussets di pertengahan abad 17 ini mengangkat isu tentang keberadaan penyihir yang hadir di tengah kehidupan warga.
Isu yang timbul di tengah maraknya wabah cacar yang melanda, dan juga di tengah serangan-serangan brutal orang Indian yang datang berbertubi-tubi. Kesemuanya itu diyakini sebagai bagian dari pekerjaan Iblis.

Kisah berawal dari Keluarga Carrier yang mendadak harus mengungsi dari desanya, karena salah satu anggota keluarga mereka terjangkit penyakit cacar. Mereka terpaksa mengungsi dari Billerica―tempat mereka tinggal, agar tidak menyebarkan virus yang mematikan itu kepada warga Bellarica.
Andover, desa di mana nenek Sarah Carrier dari pihak ibu menetap, menjadi tujuannya. Tetapi Thomas dan Martha Carrier, memutuskan untuk mengungsikan kembali kedua putri mereka, Sarah dan Hannah secara diam-diam ke rumah bibi mereka di Bellarica, karena dikhawatirkan akan tertular cacar juga bila tetap bersama keluarganya.

Di rumah bibinya, Sarah dan Hannah mendapatkan kehidupan yang jauh lebih hangat daripada di rumah mereka sendiri. Sampai-sampai Sarah menjadikan Paman, bibi dan sepupunya itu idolanya.
Sarah tidak pernah tahu, mengapa keluarganya dan keluarga bibinya tidak akur. Yang ia tahu, pamannya tidak seperti yang diceritakan oleh ayah maupun ibunya. Tapi kelak ia mengalami dilema saat perlahan-lahan kebenaran terungkap.

Jika bukan untuk raja, maka untuk negara. Jika bukan untuk negara, maka untuk klan. Jika bukan untuk klan, maka untuk saudaraku. Jika bukan untuk saudaraku, maka tidak lain untuk rumahku.
Kesetiaan kepada keluarga adalah nomor satu. (hal. 126)

Pepatah itulah yang Martha katakan pada Sarah, ketika putrinya itu bertanya ikhwal permusuhan yang terjadi antara Keluarga Carrier dan Toothaker, keluarga pamannya.

Saat wabah cacar mulai mereda, Sarah dan Hannah dijemput kembali oleh ayahnya. Tapi Sarah merasa ada yang salah dengan keluarganya. Sikap ibunya tidak sehangat bibinya di Billerica, padahal mereka adalah kakak-beradik.
Martha Carrier merupakan wanita yang keras, berlidah tajam, kaku dan kukuh terhadap prinsip. Ia tidak menyukai cara hidup tetangganya yang alih-alih terpuji dan berkelakuan baik karena selalu rutin beribadah, malah menjadikan mereka sebagai orang munafik dan selalu berprasangka buruk terhadap orang lain.
Dengan alasan itulah, Martha dan segenap keluarganya dibenci oleh warga Andover. Sampai akhirnya keluarga Carrier dituduh sebagai keluarga yang menganut aliran sesat dan mempraktikkan sihir.

Puncak peristiwa terjadi pada tahun Mei 1692. Pada tahun tersebut banyak wanita di wilayah koloni Massachussets, dari berbagai desa ditangkap dan ditahan kemudian dibawa ke Desa Salem untuk diadili. Mereka dituduh telah melakukan praktik sihir yang menyebabkan kegilaan dan banyak kerusakan.
Hal ini pun menimpa Keluarga Carrier. Mula-mula Martha Carrier ditahan karena tuduhan yang dilakukan warga setempat kepadanya yang menyatakan bahwa ia seorang penyihir. Terbukti dengan selalu menjadi nyata, sumpah serapah dan cacian yang ia layangkan pada warga. Martha pun divonis hukum mati―gantung. Hukumannya bisa menjadi lebih ringan bila ia mau mengakui atas semua yang dituduhkan pada dirinya. Tetapi Martha lebih baik menyerahkan akhir hidupnya di tiang gantungan, daripada harus mengakui hal-hal yang tidak ia pernah lakukan.
Selang beberapa waktu kemudian kelima anaknya, mengalami tuduhan yang sama. Richard, Tom, Andrew, Sarah dan Hannah, harus rela mendekam di penjara dengan tuduhan yang sama kejinya. Mereka masih mempunyai pilihan. Mengaku benar sebagai penyihir dan diringankan dari hukuman, atau bersikukuh bersama idealisme mereka dengan tiang gantungan sebagai ganjarannya.

Ada satu misteri yang hingga buku ini selesai, tetap tidak terungkap. Yaitu isi sebuah buku yang ditulis oleh Martha Carrier selama menikah dengan Thomas Carrier. Buku besar bersampul merah yang diwariskan Martha kepada Sarah, dengan amanat agar buku itu dibaca sampai Sarah siap. Tetapi hingga Sarah berusia 71 tahun, buku yang disinyalir berisi tentang rahasia Thomas Carrier, ayahnya, tidak pernah sanggup Sarah buka. Buku yang menurut ibunya diinginkan oleh sekelompok orang, hingga mereka rela melakukan apa saja untuk mendapatkan buku itu.
Jujur, saya penasaran sekali dengan buku itu. Karena dalam The Heretic’s Daughter ini, sedikit sekali hal yang dibahas tentang masa lalu Thomas Carrier, selain hanya keterangan yang menyebutkan ia adalah seorang puritan dan mantan pengawal raja.

Buku ini menggambarkan bagaimana di abad itu, kehidupan penduduk Massachussets sarat dengan konflik. Konflik sosial, politik dan agama. Disamping harus menghadapi wabah cacar yang disebut sebagai penyakit yang berasal dari iblis, meraka juga harus selalu waspada terhadap serangan beberapa suku Indian yang sering datang dengan tiba-tiba, membantai warga dengan sangat sadis dan bebrapa diculik untuk dimintai tebusan.
Selain serangan penyakit dan serangan fisik yang datang dari luar. Warga Massachussets pun harus menghadapi serangan yang lebih kejam lagi. Fitnah. Dengan ditanamnya benih paranoia, yang menjadikan orang saling tuduh-menuduh untuk menyelamatkan diri sendiri.

Banyak hipotesis telah diutarakan untuk menjelaskan perilaku aneh yang terjadi di Salem pada 1692. Salah satu studi paling konkret, yang diterbitkan di jurnal Science pada tahun 1976 oleh psikolog Linnda Caporael, menyalahkan kebiasaan abnormal para terdakwa pada jamur ergot, yang dapat ditemukan dalam gandum, rumput gandum dan sereal lainnya. Ahli toksikologi ergot mengatakan bahwa makan makanan yang terkontaminasi dapat menyebabkan kejang otot, muntah, delusi dan halusinasi. Selain itu, jamur yang tumbuh subur di iklim yang hangat dan lembap―tidak terlalu berbeda dengan padang rumput lebak di Desa Salem, di mana gandum sebagai bahan pokok selama musim semi dan musim panas.

Sepintas mengenai Sejarah Kota Salem.
Kota Salem adalah satu-satunya kota di dunia yang diakui sebagai kota sihir yang sangat penuh misteri. Kota sihir yang benar-benar ada, tepatnya di Negara bagian Massachussets. Kota ini secara resmi telah ditetapkan sebagi Kota Sihir oleh Michael Dukakis, Gubernur Massachussets pada masa itu.
Kota ini ditetapkan sebagai kota sihir karena di kota ini pernah terjadi peristiwa yang sangat mengerikan. Peristiwa The Salem Witch Trial, peristiwa di mana lebih dari 150 penduduk kota ini ditangkap, diadili dan dihukum hanya karena dianggap mempraktikkan sihir.

Membaca The Heretic’s Daughter, membuat cairan empedu saya naik merayap ke tenggorokan. Menjadikan sulit untuk bernapas beberapa saat dan jantung yang seolah-olah berdetak tiga kali lebih kencang dari biasanya. Mual, menegangkan sekaligus mendebarkan. Itu sensasi yang saya rasakan.
Alurnya pun semakin lama semakin cepat. Dan kata-kata yang terangkai cukup mudah diikuti dan dipahami.

Kathleen Kent tinggal di Dallas bersama suami dan anaknya. The Heretic's Daughter adalah novel pertamanya. Sebagian besar buku yang telah memengaruhi dan menyentuhnya adalah fiksi sejarah.
Saat kecil buku favoritnya adalah The Quincunx karya Charles Palliser, "Instance of the Fingerpost karya Iain Pir, The Weight of Water karya Anita Shreve, dan The Source karya James Mitchener.
Saat ini ia sedang membaca sebuah buku berjudul "The Home Long" karya William Gay yang menurutnya merupakan salah satu penulis fiksi terbaik di Amerika saat ini.