Maret 07, 2011

Tawanan Benteng Lapis Tujuh : Menapaktilasi Jejak Hidup Ibnu Sina

Cover Menapaktilasi Jejak Hidup Ibnu SinaJudul : Tawanan Benteng Lapis Tujuh : Menapaktilasi Jejak Hidup Ibnu Sina
Penulis : Husayn Fattahi
Penerjemah : Muhammad Zaenal Arifin
Penyunting : Damhuri Muhammad


Proofreader : Juman Rofarif
ISBN : 978-979-024-266-1
Tebal : 295 Halaman
Harga : Rp 35.000
Cover : Soft Cover
Penerbit : Zaman
Cetakan: I, 2011


Siapa yang tak kenal dengan Aristoteles yang dijuluki Bapak Ilmu Pengetahuan? Siapa pula yang tak kenal dengan Plato, Archimedes atau Pythagoras dan para ilmuwan hebat yang berasal dari Yunani Kuno?

Atau siapa pula yang tak kenal dengan ilmuwan modern dari Negara Barat? Sebut saja James Watt, Thomas Alfa Edison, Marie Curie, Isaac Newton, Nicola Tesla atau yang paling modern di abad 20, si genius Albert Einstein?

Kesemua ilmuwan di atas, pasti kita kenal, walau bukan secara personal. Tetapi minimal kita pernah menemukan nama-nama mereka di buku pelajaran sekolah. Kita mengenal mereka melalui penemuan-penemuan mereka yang sangat luar biasa. Sebuah sumbangsih tak ternilai untuk kehidupan. Dan menjadikan masa depan dunia lebih cerah dan lebih maju. Walaupun tak sedikit dari penemuan mereka dapat pula membuat dunia ini hancur, bila penemuan-penemuan mereka ini diaplikasikan untuk sebuah karya yang negatif.

Tapi apakah kita mengenal Ibnu Sina? Mungkin tidak semua orang mengetahui siapa beliau sebenarnya. Apa yang istimewa dari seorang Ibnu Sina atau mengapa sampai beliau itu harus dikenal oleh orang banyak.

Melalui buku yang tidak hanya memikat, tetapi sarat dengan muatan sejarah juga inilah kita dapat mengetahui keagungan dan kehebatan dari seorang Ibnu Sina.

Buku yang mempunyai tebal 295 halaman ini mengupas perjalanan hidup dari seorang Abu Ali―Ibnu Sina kecil sampai beliau wafat.

Abu Ali lahir dari pasangan Sattarah dan Abdullah. Mereka tinggal di Bukhara di mana sebelumnya meraka tinggal Asyfanah.

Abdullah tahu, bahwa putra sulungnya adalah anak yang genius. Karena sejak kecil Abu Ali sudah menunjukkan tanda-tanda itu. Ia benar-benar seorang anak yang cerdas dan luar biasa. Abdullah sebagai orang tuanya sempat merasa bingung dan kewalahan, karena Abu Ali cepat sekali menyerap ilmu dari guru yang mengajarinya dalam waktu yang sangat singkat. Hal ini menjadikan Abdullah harus terus mencari guru baru untuk mengajari putranya ilmu pengetahuan yang lain.

Diusianya yang baru sepuluh tahun, Abu Ali telah paham Al-Quran. Ia tidak hanya hafal seluruh surah, tetapi juga sangat fasih membaca Al-Quran. Bahkan telah memahami dasar-dasar agama dan hukum-hukumnya.

Syekh Nahawi yang merupakan guru pertamanya, menyarankan agar Abdullah mencari guru yang lain untuk memenuhi rasa haus ilmu dari seorang Abu Ali.

Akhirnya Abu Ali pun menjadi murid Syekh Massah, guru matematika paling hebat di Bukhara. Abu Ali adalah murid termuda, karena semua murid Syekh Massah adalah orang dewasa.

Tapi seperti kejadian sebelumnya. Abu Ali menyerap ilmu dari sang guru dengan begitu cepat, sampai-sampai Syekh Massah menyarankan pada Abdullah untuk segera mencarikan guru baru untuk anaknya tersebut karena tidak ada hal lainnya yang dapat Syekh Massah ajarkan lagi pada Abu Ali.

“Sungguh, ilmu Abu Ali tidak kurang sedikit pun dari ilmu gurunya, aku sendiri. Daripada waktunya terbuang sia-sia, lebih baik anda mencari guru lain yang bisa mengajarinya ilmu lain.”

Abu Ali terus belajar ilmu pada guru yang berbeda dengan ilmu yang berbeda-beda pula, yang hanya dalam hitungan beberapa bulan saja semua ilmu gurunya sudah berhasil ia serap semua dengan baik.

Setelah belajar Al-Quran dan ilmu agama pada Syekh Nahawi, belajar Matematika pada Syekh Massah, belajar pada Syekh Ismail az-Zahid dan belajar ilmu Logika, Filsafat dan Hikmah pada Syekh an Natili, akhirnya Abu Ali memutuskan untuk mempelajari ilmu kedokteran dan membaca buku-buku tentang ilmu pengetahuan yang terkait dengan dunia kedokteran.

Abu Ali berhasil mengaplikasikan ilmu kedokteran yang telah dipahaminya ketika Sattarah, sang ibunda sakit. Ia berhasil menyembuhkan ibunya. Kemudian hal yang sama berlanjut ketika Abu Ali diminta mengobati para tetangganya yang sedang sakit.

Dari sinilah, kehebatan Abu Ali dalam mengobati orang sakit menyebar ke seluruh penjuru negeri, tidak hanya di Bukhara saja, tetapi hingga ke luar wilayah Bukhara. Dan yang lebih mencengangkan bahwa orang-orang Bukhara lebih memercayai Abu Ali yang mengobati mereka, ketimbang dengan dokter di Rumah Sakit Bukhara.


Kemudian, hidup Abu Ali berubah. Ayahnya menderita sakit keras tetapi ia tidak mampu menyembuhkan penyakit yang diderita ayahnya hingga ayahnya wafat. Sungguh hal yang sangat ironis, mengingat dirinya adalah seorang yang telah berhasil menyembuhkan banyak orang sakit, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa ketika kemampuannya dibutuhkan oleh ayahanda tercinta.

Semenjak itulah Abu Ali memutuskan untuk pergi bertualang bersama Abu Sahl, sahabat dekatnya.

Perjalanan inilah yang menggugah hati saya. Perjalanan yang penuh dengan serangkaian derita dan nestapa yang tak pernah berujung. Derita yang ditimbulkan oleh kedengkian orang-oraang yang tidak menyukai kepintaran dan kesalehan Abu Ali.

Perjalanan Abu Ali dimulai dengan mendatangi Gurganj yang berada di kawasan Khawarizm. Rumah Sakit Gurganj telah menantinya. Dia pun mengabdi dan mengamalkan ilmunya dengan segenap hati untuk kesembuhan pasien-pasien di Rumah Sakit Gurganj.

Sampai suatu saat ia diminta datang ke Istana Raja Nuh II, penguasa Khawarizm, untuk mengobati keponakan Raja yang sakit.

Saat ia datang ke Istana Raja Nuh II, Abu Ali masih tampil dengan kesederhanaan dan kerendahan hatinya.


“Selamat datang, Ibnu Sina!” sambut raja.

“Abu Ali ibn Sina. Anda seorang Syekh yang dalam sekali ilmunya pada usia sangat muda.” Raja berkata sambil memeluknya.

“Kemampuan saya dan semua pencapaian saya semata-mata anugerah Allah. Saya tidak punya apa-apa,”jawab Abu Ali.


Roda kehidupan benar-benar berputar sangat cepat pada diri seorang Ibnu Sina. Dengan cepat ia bisa berada di dalam Istana sultan, hidup enak dan nyaman dengan menjadi dokter pribadinya, tetapi dengan cepat pula ia bisa menjadi seorang buronan karena tuduhan kejam yang diarahkan kepadanya.


Sampai akhirnya ketika Ibnu Sina sang as-Syekh ar-Rais harus menjadi tawanan Kerajaan Ray. Kerajaan yang dipimpin oleh seorang wanita bernama Malak Khatun.

Ray, kota tempat berkembangnya berbagai mazhab dan aliran. Kota yang dikelilingi oleh tujuh lapis banteng dan mempunyai ribuan taman. Kemudian beliau juga menjadi tawanan kota Hamdan, yang juga memiliki tujuh lapis banteng―Benteng Fardajan.

Ibnu Sina untuk kesekian kalinya, harus kembali terjebak dalam keadaan yang tidak mengenakkan. Ia terpaksa terlibat kembali dalam masalah politik keluarga kerajaan yang pada akhirnya selalu membahayakan jiwanya dan membawanya ke penjara.

Dalam politik yang sangat kotor tentang sebuah kudeta kekuasaan dengan trik dan intrik yang jahat, selalu membuat Ibnu Sina tak berdaya.

Ia begitu sedih melihat banyaknya korban yang berjatuhan akibat dari perang yang terjadi. Perang yang timbul akibat keserakahan dan kehausan orang-orang terhadap kekuasaan dan takhta. Hal ini membuktikan, bahwa Ibnu Sina juga adalah seorang manusia biasa.

Ibnu Sina yang hanya seorang ilmuwan dan seorang dokter hebat, tentu saja tidak bisa berbuat banyak dalam hal perang dan politik. Nasihat-nasihat yang ia berikan kepada para raja yang pernah meminta jasanya dan kepintarannya dalam hal medis, malah berbuntut buruk untuk dirinya akibat perasaan dikhianati dari musuh raja-raja tersebut.


Dalam setiap keterpurukannya dan juga dalam setiap kehidupannya di penjara sebagai tawanan, Ibnu Sina selalu rajin menulis. Ia tak henti-hentinya menulis semua ilmu yang ia punya sampai maut menjempunya.

Banyak sekali buku-buku yang ia tulis sepanjang hidupnya, diantaranya; Al-Qânûn, yang merupakan magnum opus-nya, Dalîl al-‘Aql, as-Syifa, al-Manthiq wa al-Majisthi.

Di dalam novel biografi ini juga, dikisahkan jalinan kasih beliau terhadap seorang wanita bernama Jasmine. Betapa ia sangat menyayangi dan menghormati Jasmine, begitu pula sebaliknya. Jasmine adalah seorang istri yang mengabdi pada suami dan sangat memujanya.


Beberapa perkataan yang beliau ucapkan, bisa sangat membakas di hati dan juga dapat menjadikan motivasi hidup bagi kita.

“sampai kapan pun, mencintai kemegahan dunia tidak bernilai jika dibandingkan dengan nyawa manusia. Seorang filsuf pernah mengatakan bahwa ketika kebodohan menguasai kesadaran, maka kesadaran memiliki hak untuk berbuat hal paling bodoh”.


Rasa salut dan bangga kita terhadap Ibnu Sina akan semakin bertambah, setelah membaca novel biografi ini. Novel ini sungguh dapat membuat mata setiap orang terbuka. Bahwa Islam mempunyai seorang Ilmuwan yang hebat, dan hasil karya-karyanya pun menjadi panduan dan tolak ukur untuk para ilmuwan lainnya.

Beliau menyumbangkan sesuatu yang tidak dapat dinilai oleh materi. Beliau sungguh bisa memanfaatkan waktu beliau yang sedikit dengan tetap menulis disela-sela waktu yang beliau punya untuk mengobati orang lain.


Sedikit mengulas biografi dari seorang Ibnu Sina yang sangat Luar biasa.

Ibnu Sina bernama lengkap Abū ‘Alī al-Husayn bin ‘Abdullāh bin Sīnā. Ia lahir di pada tahun 980 di Afsyanah daerah dekat Bukhara, saat ini adalah wilayah Uzbekistan, dan meninggal pada bulan Juni 1037 di Hamdan, Iran.

Ibnu Sina yang dikenal sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan dan dokter. Ia juga seorang penulis yang produktif di mana sebagian besar karyanya aadalah tentang filosofi dan pengobatan. Bagi banyak orang, beliau adalah “Bapak Pengobatan Modern” dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran.

Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Qanun fi At Tibb, yang di Dunia Barat dikenal dengan The Canon of medicine. Selain itu The Book of Healing juga adalah buku karya beliau lainnya yang luar biasa.