Oktober 31, 2011

WARNA TANAH


WARNA TANAH
Kisah Kehidupan di Padang-Padang Keemasan

Penulis: Kim Dong Hwa
Penerjemah: Rosi L. Simamora 
Editor : Tanti Lesmana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 320 halaman
Cetakan: I, Juni 2010
ISBN: 978-979-22-5927-8
Harga: Rp 50.000,00

Warna Tanah adalah puisi puitis yang sarat hujan dan bunga-bunga, manhwa yang sangat indah. Keberadaannya yang memukau dan keindahannya yang memesona mengajak kita meluangkan banyak waktu untuk sungguh-sungguh menikmatinya.

Novel grafis yang mengambil setting di kota Namwon Korea ini mengisahkan dua sosok perempuan, seorang ibu dan anak perempuannya. Ibu yang berperan sebagai single parent, yang harus membesarkan putri semata wayangnya seorang diri. Ia harus siap menghadapi manis pahitnya hidup dengan berbagai persoalan yang mengelilinginya, baik persoalan yang datangnya dari luar rumah, yaitu lingkungan tempat ia tinggal, atau persoalan yang datang dari anak perempuannya, Ehwa yang baru menginjak masa puber dan sedang merayap menjadi seorang wanita sejati.

Kim Dong Hwa, memaparkannya dengan begitu cantik dan indah. Banyak analogi yang digunakan dalam menuturkan cerita menakjubkan ini, misalnya bunga dan hujan. Bunga yang menjadi metafora seorang kekasih atau orang yang dikasihi. Hujan, elemen air yang melambangkan potensi kekuatan kehidupan.

Kamelia adalah satu-satunya bunga yang mekar di tengah salju. Kamelia benar-benar bunga yang tahan cuaca. Mereka nyaris terlihat seolah-olah begitu tak sabar menantikan seseorang. Namun mereka sangat lelah dengan penantian itu hingga berubah menjadi merah. Mungkin mereka menunggu kupu-kupu…
Tidakkah sekarang terlalu dingin untuk kupu-kupu?
Itu sebabnya Kamelia juga bunga yang konyol─Kamelia satu-satunya bunga yang cintanya bertepuk sebelah tangan”. (hal. 155)

Saya semakin merasa terhanyut ketika sampai pada bagian dialog antara Ibu Ehwa dan Ehwa, putrinya. Bagian yang sarat dengan pernyataan kasih sayang dan kerinduan yang akan terjadi. Bagaimana pandangan seorang ibu terhadap anak perempuannya. karena saya yakin, bahwa seorang anak perempuan akan selalu mempunyai tempat istimewa di hati sang Ibu.

“Setelah kau menikah dan meninggalkanku, akan kukumpulkan segenap kesedihanku sampai kau datang mengunjungiku. Pada saat itu akan kubagikan setiap kesedihanku denganmu sepanjang malam.
Kelak, waktu aku seumur Ibu, apakah aku punya banyak yang ingin kukatakan seperti Ibu?
Bukan usia yang membuat kita begitu, melainkan fakta bahwa kita perempuan. Itulah sebabnya mereka mengatakan ketika Nenek Samsil menciptakan putrinya, ia membuat mulut lebih dulu”. (hal. 229)

Dikisahkan pula tentang Chung-Myung, seorang biksu muda yang masih mencari jati diri. Ia terkejut saat menyadari ada noda di celananya pada suatu pagi, yang menandakan awal mula ia menjadi lelaki sejati. Ia pun tersesat dalam manisnya rasa yang ia persembahkan untuk Ehwa.

“Dan ketika kau memandangnya, pastikan kau memandangnya dengan seksama dengan kedua matamu. Kau selalu memandang segala sesuatu dengan mata setengah terpejam . Karena itulah setelah melihat sesuatu , kau terus mengingat-ingatnya. Taruh kekuatan di matamu dan lihat, maka kau akan melihat dunia sperti selayaknya.
Tapi, bahkan kalaupun kau memejamkan mata terhadap hasrat, hasrat takkan enyah, dan bahkan kalau kau memalingkan wajahmu sekalipun, hasrat takkan lenyap”. (hal. 297)

Kim Dong Hwa pun, tidak perlu menceritakan semuanya melalui rangkaian kata yang indah untuk mendapatkan apa yang ingin ia sampaikan pada pembacanya.
Beberapa adegan yang teramat menyentuh tidak membutuhkan kata-kata, seperti saat si biksu muda dengan berani meletakkan sepatunya di atas sepatu Ehwa atau saat Ibu Ehwa sang Janda Namwon meletakkan sepatu si pelukis dengan arah berlawanan dan senyum kecil Ehwa saat merasa malu sekaligus bangga karena telah menjadi wanita sejati.

Halaman demi halaman yang saya buka, begitu menghipnosis. Rangkaian kata-kata yang indah bak puisi disertai lanskap-lanskap yang sama indahnya menjadikan novel grafis ini sempurna. Keindahan yang berhak mendapat ganjaran lima bintang ^ _ ^.

Di buku selanjutnya, Warna Air dan Warna Langit, kita pun akan semakin dibuai oleh rangkaian-rangkaian kalimat-kalimat dan dialog yang indah. Kalimat romantis yang menyimpan sejuta makna mengalir deras di novel grafis buah pena Kim Dong Hwa ini.