Mei 24, 2011

PROPHECY OF THE SISTERS


Kembar... Dua Pribadi yang saling Berseberangan
Resensi oleh Noviane Asmara

Detail Buku:
Judul : PROPHECY OF THE SISTERS
Penulis : Michelle Zink
Penerjemah : Ida Wajdi
Penyunting : Aisyah
Korektor : Tisa Anggriani
Tebal : 359 Halaman
Harga : Rp 68.500
Cover : Soft Cover
Genre : Dark Fantasy
Penerbit : Matahati
Cetakan : I, Maret 2011castilla

Bagi saya anak kembar selalu membuat saya takjub. Takjub karena mereka itu unik. Apalagi bila mereka adalah kembar identik. Dari segi fisik, semuanya sama. Postur tubuh, bentuk wajah bahkan kadang sampai kepada sikap dan hobi, walaupun hal-hal yang menyangkut kepribadian akan selalu berbeda.
Tapi bagaimana bila ada gadis kembar identik yang sifatnya saling bertolak belakang. Mereka berasal dari satu sel telur yang sama, lahir dari rahim yang sama pula, tapi ketika tumbuh dan berkembang, sifat mereka bagai kutub utara dan selatan. Menjadi dua sosok berbeda, sosok protagonist dan antagonis.

Dalam buku pertama seri Prophecy of the Sisters ini, dikisahkan dua gadis kembar identik berusia 16 tahun, Alice dan Amalia Miltrorpe.
Keduanya tumbuh dan besar bersama dibawah asuhan Bibi Virginia, saat sang Ibu yang merupakan kembarannya meninggal dunia.
Pada usia 16 tahun, kedua gadis kembar itu bersama adik lelaki mereka, Henry yang hidup mengandalkan kursi roda akibat kakinya yang lumpuh, menjadi yatim piatu. Ayah mereka, Thomas Milthorpe, meninggal dengan cara yang tidak wajar, seperti kematian Ibu meraka sebelumnya.

Kematian sang ayah, membawa banyak perubahan terhadap kehidupan Alice, Lia dan Henry Milthorpe.
Mendadak muncul tanda aneh di pergelangan tangan Lia, semacam tato timbul. Jorgumand. Tanda yang menonjol seperti parut luka, dengan pola yang membentuk garis tempat ular itu membelit diri ke tepian lingkaran hingga mulutnya memakan ekornya sendiri.
Kemunculan tanda ini disertai dengan munculnya beberapa kejadian janggal lainnya. Ditemukannya buku berkulit sejuk dan kering berhias rancangan mencetak pola figur-figur aneh dan sangat tua, di perpustakaan milik ayah mereka. Buku yang hanya berisi satu halaman saja, yang memuat tulisan berbahasa latin, yang akhirnya diketahui adalah sebuah ramalan kuno. Ramalan yang kelak menentukan takdir kehidupan si Kembar Milthorpe dan juga yang lainnya.

Melalui api dan harmoni, umat manusia bertahan
Hingga dikirimnya para Garda,
Yang mengambil istri dan kekasih dari seorang pria,
Menimbulkan kemurkaan-Nya
Cerita ini dimulai darr sini :
Dua saudari , terbentuk dari samudra bergelombang yang sama,
Yang satu sang Garda, yang lain sang Gerbang.
Yang satu penjaga kedamaian,
yang lain berukar sihir untuk pemujaan.
Tatkala para Saudari melanjutkan pertempuran
Hingga Sang Gerbang memanggil mereka kembali
Atau sang Malaikat membawa Kunci-Kunci menuju Neraka
Tentara, berbaris melalui Gerbang
Samael, sang Iblis, melalui sang Malaikat
Sang malaikat, hanya dijaga oleh perlindungan selubung halus
Emat Tanda, Empat Kunci, Lingkaran Api
Terlahir dalam napas pertama Samhain
Dalam bayangan Ular Batu Mistis dari Aubur
Biarkan Gerbang Malaikat mengayun tanpa Kunci
Diikuti Tujuh Tulah dan Tak Kembali
Kematian
Kelaparan
Darah
Api
Kegelapan
Kekeringan
Kehancuran
Rentangkan lenganmu, Nona Kekacauan
Malapetaka sang Iblis akan mengalir seperti sungai
Karena semuanya musnah saat Tujuh Tulah dimulai.

Ramalan itu seolah-olah menuntun dan menentukan kehidupan Alice dan Lia pada sebuah misteri dan dendam di masa lalu. Misteri yang telah ada beberapa ribu tahun yang lalu. Misteri yang merenggut kehidupan Ibu dan Ayah mereka, juga para saudari yang berkaitan dengan semua gadis kembar.

Sayangnya, sekarang Alice dan Lia berada di sisi yang berseberangan. Alice berada di sisi kelam, sisi yang telah dipilihnya. Alice yang sejak kecil telah menampakkan tanda-tanda itu. Tapi hal ini makin menjadi setelah kematian ayahnya. Sifat misterius dan bengisnya semakin terlihat. Sedangkan Lia berada di sisi satunya. Dan berniat menyelamatkan dunia semampu yang ia bisa lakukan dengan dukungan teman-temannya. Lia bertekad untuk mengakhiri ramalan itu.

Lia harus terus berjuang dan juga terus mendapatkan teror. Tapi ia tetap bertahan, walau hal itu kadang membuatnya hampir putus asa dan nyaris gila. Bagaimana tidak? Lia harus melawan adik kembarnya sendiri, adik yang telah bersama-sama dengan dirinya bahkan sejak dalam rahim Ibu mereka.
Bersama dua orang sahabatnya, Sonia Sorrensen dan Luisa Torelli, bersama-sama secara perlahan-lahan, mereka menyingkap selimut misteri yang sangat gelap yang awalnya datang dari sebuah pengkhianatan.

Dan Alice, memilih takdirnya sebagai orang yang melawan Lia. Semua ini ia lakukan karena dendam, ia merasa bahwa seharusnya ialah yang berada di posisi Lia saat ini, bukan Lia yang dalam pandangan Alice sudah merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya.

Lembar demi lembar yang kita baca, menyuguhkan ketegangan dan sensasi yang berbeda. Rasa marah, takut, dendam dan juga cinta, turut hadir menguras emosi para pembaca. Kita tidak disajikan kisah dark fantasy dengan endingnya biasa saja. Tetapi kita akan terhanyut di dalamnya, seolah-olah kita ikut mengembara bersama Lia, dengan merasakan kepedihannya dan rasa dilema untuk memilih. Kita juga akan ikut merasakan sakit hati yang dalam yang diderita Alice.
Kesedihan pun terurai panjang di sini. Bagaimana tatkala Alice dan Lia sekali lagi harus melihat kematian orang yang mereka berdua cintai mati, hanya karena keegoisan mereka.

Ending kisahnya, sungguh mengejutkan, tetapi jujur saya menyukainya, walaupun pada awalnya sulit untuk menerimanya. Saya yakin, buku keduanya yang berjudul Guardian of the Gate, akan sama memukaunya dengan buku ini, bahkan mungkin lebih.

Michelle Zink tinggal di New York bersama keempat anaknya. Dia selalu terpikat pada mitos dan legenda kuno, serta tak pernah berhenti mempertanyakannya. Tetapi ketika dia menemukan jawaban atas apa yang dicarinya, lahirlah sebuah kisah. Prophecy of the Sisters adalah salah satunya.
Untuk mengenal Zink lebih lanjut dan mengetahui karya lainnya, dapt mengunjungi situs webnya di: www.michellezink.com

POLLYANNA GROWS UP


POLLYANNA GROWS UP: Ketika Usia tidak Mengubah Keceriaan
Resensi oleh Noviane Asmara

Detail Buku :
Judul : Pollyanna Grows Up
Penulis : Eleanor H. Porter
Penerjemah : Rini Nurul Badariah
Penyunting : Azzura Dayana & Dee
Tebal : 361 Halaman
Harga : Rp 47,500
ISBN : 978602843695-3
Cover : Soft Cover
Genre : Klasik
Penerbit : Orange Books
Cetakan : I, September 2010


Pollyanna Grows Up adalah sekuel dari buku Pollyanna. Terbit pertama kali tahun 1915― dua tahun berselang setelah buku pertamanya.

Pollyanna Grows Up ini, mengisahkan perjalanan hidup Pollyanna yang tumbuh dan berkembang hingga menginjak usia dua puluh tahun.
Hidup yang dijalaninya masih sulit dan tidak semudah ketika ia hidup di panti asuhan. Tetapi satu kunci kebahagian Pollyanna, ia selalu memainkan permainnannya. Permainan yang dengan sangat mudah ia mainkan. Permainan Sukacita.
Tak peduli dalam keadaan apapun, segalanya selalu menjadi keceriaan untuk gadis tiga belas tahun ini.

Di buku Pollyanna, dikisahkan bahwa Bibi Polly― bibi Pollyanna, menikah dengan Dr Chinton. Untuk lebih mengingatkan dengan jelas, silahkan baca di : http://www.facebook.com/noviane.asmara?sk=notes#!/note.php?note_id=397847365753

Saat Dr Chilton ditugaskan ke Jerman, Bibi Polly merasa kebingungan dengan nasib Pollyanna. Siapa yang akan merawat Pollyanna selama musim dingin saat dirinya dan suaminya harus pergi ke Jerman dalam kurun waktu yang cukup lama.

Di sisi lain, sebuah keluarga, membutuhkan kehangatan dan keceriaan. Adalah Ruth Carew, seorang janda yang hari-harinya diliputi oleh kekelaman. Sejak kematian sang suami yang kemudian disusul kematian putra semata wayangnya, ia menarik diri dari dunia. Ia terlarut dan tenggelam dalam kesedihan yang ia buat sendiri.
Putra kakaknya yang merupakan keponakan satu-satunya, yang juga pewaris dan pelipur lara pun, tiba-tiba menghilang tanpa jejak dan tidak pernah ditemukan.
Ia menjadi antisosial dengan menolak kunjungan siapa pun untuk dirinya. Rumah mewah yang ia tempati menjadi dingin, kelam, suram dan sepi. Di mana cahaya matahari tidak diperbolehkan masuk dan menyinari rumahnya karena semua tirai ditutup dan tidak seorangpun berani berbicara dengan dirinya, kecuali sang adik, Della Wetherby. Della, seorang perawat di Sanatarium tempat dulu Pollyanna dirawat ketika mengalami kelumpuhan.

Saat itu, atas saran Della dan Dr. Charlie Ames, Mrs.Carew dianjurkan menerima dan menampung Pollyanna untuk sementara waktu, sampai paman dan bibinya kembali dari Jerman. Della yakin, kalu Pollyanna akan mampu mengubah keadaan kakaknya kembali seperti dulu. Bagi Della dan semua orang yang mengenal gadis kecil berusia tiga belas tahun itu, Pollyanna seolah-olah adalah obat untuk rasa sakit yang mereka derita. Dengan takaran dan dosis yang pas, niscaya sakit dan derita mereka akan secara perhalan. Permainan Sukacita ala Pollyannalah yang membawa semuanya menjadi ceria.

Seiring berjalannya waktu, Perubahan sikap dialami oleh Mrs. Carew. Pollyanna yang di awal kehadirannya dirasa begitu ‘mengganggu’ dengan segala ocehan dan permohonannya yang kadang tidak masuk akal, akhirnya meninggalkan kesepian saat Pollyanna harus kembali ke Beldingsville, saat paman dan bibinya telah tiba.

Saat berusia empat belas tahun, Pollyanna beserta paman dan bibinya hijrah ke Jerman untuk kemudian menetap di sana.
Roda kehidupan terus berputar, dan saat ini Dewi Fortuna sedang tidak berada di pihak Bibi Polly. Kemalangan secara bertubi-tubi menimpa Mrs. Chilton. Kematian suaminya, Dr. Chilton disusul dengan bangkrutnya ia akibat bisnis yang merugi.
Pollyanna dan Mrs. Chilton, mau tidak mau harus kembali ke kampung halamannya, Beldingsville. Saat itu usia Pollyanna telah menginjak dua puluh tahun, usia yang kian matang dan dewasa. Tetapi ia tetaplah Pollyanna yang dulu, yang polos, spontan selalu ceria karena ia selalu memainkan permainan sukacitanya.

Akhir kisah Pollyanna Grows Ups ini, sungguh menguras emosi. Misteri hilangnya sang keponakan Mrs. Carew tercinta, terjawab sudah. Dan kepada siapa Pollyanna menjatuhkan pilihannya untuk menjadi teman hidupnya, ini juga terjawab di akhir cerita.

Tokoh Jamie, Jimmy Bean Pendleton dan Sadie Dan pun, turut mewarnai cerita yg menawan ini. Sisipan romansa yang tertuang di kisah ini pun turut menjadikan cerita ini lebih hangat dan lebih hidup.

Eleanor Hodgman Porter lahir di Littleton, New Hampshire, 19 Desember 1868. Semula novelis Amerika ini dipoyeksikan menjadi penyanyi, tetapi kemudian banting stir ke dunia tulis-menulis. {ada tahun 1892, ia menikah denga John Hodgman Porter dan pindah ke Massachussetts. Kenanyakan karyanya bergenre buku anak, seperti serial Miss Billy (Miss Billy, Billy’s Decision, dan Miss Billy Married), Just David (1916), Six Star Ranch (1916), Cross Currents (1928) dan The Turn of the Tide (1918).
Pollyanna, yang terbit tahun 1913, merupakan novelnya yang paling tersohor. Sekuelnya Pollyanna Grows Up, menyusul dua tahun kemudian. Pollyanna termasuk deretan buku laris di Amerika Serikat, bahkan sempat memasuki cetakan ke-47 antara tahun 1915 dan 1920.
Eleanor H. Porter wafat pada tahun 1920 di Cambridge, Massachussets.