Juli 29, 2011

THE DAY OF THE JACKAL


Resensi oleh Noviane Asmara
THE DAY OF THE JACKAL
Penulis : Frederick Forsyth
Penerjemah: Ranina B. Kunto
Penyunting: Adi Toha
Pewajah Isi : Dinar Ramdhani Nugraha
ISBN : 978-979-024-356-9
Tebal : 609 Halaman
Harga : Rp 79.000
Cover : Soft Cover
Penerbit : Serambi
Cetakan: I, Juni 2011


Seseorang yang tak dikenal… seorang pembunuh bayaran!

Bersetting Prancis pada tahun 60-an, novel ini mengisahkan tentang upaya pembunuhan terhadap Presiden Prancis kala itu, Jenderal Charles de Gaulle.
Percobaan pembunuhan ini telah enam kali dilakukan. Dan sebanyak enam kali pulalah kegagalan harus ditelan pahit oleh para petinggi OAS (Organisation L’Armée Sacrète).

Matinya Letnan Kolonel Jean-Marie Basytien-Thiry, pemimpin sebuah geng pembunuh dari OAS yang dihukum tembak mati pada 11 Maret 1963, tidak serta-merta mengakhiri upaya-upaya lebih lanjut untuk mencabut nyawa sang Presiden. Namun, takdir berkata lain. Hal itu justru menjadi permulaan.

Buku yang terbagi ke dalam tiga bagian ini, yakni; Anatomi Sebuah Perencanaan, Anatomi Perburuan Manusia dan Anatomi Pembunuhan, sangat kental dengan intrik politik.
Ketidakpuasaan beberapa golongan terhadap kebijakan Presiden de Gaulle, mendorong mereka melakukan aksi yang tidak hanya menggulingkan pemerintahan de Gaulle, bahkan dengan membunuh langsung Presiden tersebut.

Adalah Marc Rodin seorang komandan di Indo-China yang akhirnya dikirim ke Aljazair. Awalnya menganggap de Gaulle bak Zeus turun ke Gunung Olympus, saat de Gaulle mengunjungi Aljazair. Rodin yakin, kebijakan baru de Gaulle akan segera diberlakukan. Para komunis akan disapu dari jabatan mereka, para pengkhianat akan ditembak mati, serikat dagang akan ditundukkan dan dukungan sepenuh hati terhadap Prancis atas teman-teman dan saudara-saudaranya di Aljazair dan atas pasukannya yang melindungi perbatasan wilayah kekuasaan Prancis itu, akan segera tiba.
Tapi ternyata, de Gaulle mengambil langkah-langkah untuk memulihkan Prancis menurut caranya sendiri. Dan hal ini membuat Rodin hancur dan marah. Karena akhirnya terbukti bahwa konsep Charles de Gaulle tentang kebangkitan Prancis tidaklah mencakup Aljazair.
Yang tersisa pada dirinya tinggallah kebencian.
Kebencian terhadap sistem, terhadap politisi, terhadap cendikiawan, terhadap orang Aljazair, terhadap serikat dagang, terhadap para wartawan dan terhadap orang-orang asing.
Kemudian Rodin memimpin seluruh batalionnya ke dalam kudeta militer untuk menggulingkan pemerintahan pada bulan April 1961.

Dengan bercermin terhadap enam kegagalan sebelumnya dalam upaya pembunuhan Presiden de Gaulle, akhirnya Marc Rodin yang kini menjabat sebagai kepala operasi OAS, bersama dua teman seperjuangannya, René Montclair, bendahara dan André Casson, kepala jaringan bawah tanah di Metropole, melakukan pertemuan di Pension Kleist sebuah hotel kecil di Brucknerallee Wina, Austria pada pertengahan Juni 1963.
Hasil kesepakatan mereka adalah, membunuh de Gaulle dengan menggunakan orang asing, bukan orang dari kesatuannya atau dari negerinya sendiri.
Orang yang benar-benar asing―yang tidak mempunyai kepentingan politik atau idealisme seperti ketiga orang tersebut.
Orang asing yang bekerja secara profesional dan murni karena uang.

Dengan melibatkan jaringan bawah tanahnya, akhirnya mereka sepakat menggunakan jasa seorang asing―seorang pembunuh bayaran, yang kemudian dikenal dengan sandi Jackal (Jakal) yang berarti sejenis anjing liar berbulu kuning.
Kesepakatan telah dibuat. Sang Jakal akan bekerja dengan caranya sendiri tanpa campur tangan pihak OAS. Pihak OAS hanya perlu menyediakan dana awal sebanyak dua ratus lima puluh ribu dolar, dan sisanya sebanyak dua ratus lima puluh ribu dolar lagi akan diberikan, setelah pekerjaan Sang Jakal selesai.
Harga yang bagi mereka terbilang fantastis untuk sebuah nyawa seorang pengkhianat semacam Presiden de Gaulle.

Banyak hal menarik dan seru yang terjadi saat Sang Jakal mempersiapkan segalanya menjelang hari H. Hari di mana eksekusi akan dia lakukan terhadap de Gaulle.
Penyamaran pun mulai dilakukan. Pencurian paspor warga negara lain sebagai identitas baru dilakukan oleh Sang Jakal. Pembuatan SIM Internasional, pemalsuan paspor, pemesanan senjata sesuai yang ia butuhkan―ia lakukan secara detail dan sesempurna mungkin.
Latihan menembak pun, tidak lupa ia lakukan. Pengukuran jarak dan sudut tempat di mana ia akan melakukan aksinya telah ia perhitungkan dengan sangat cermat dan matang.
Sang Jakal memang luar biasa cerdas. Ia tahu, yakin, paham dan sangat ahli dalam bidangnya.

Di sisi lain, kepolisian Prancis dan pasukan pengawal Presiden Prancis, mencium adanya upaya pembunuhan (lagi) terhadap de Gaulle melalui agen-agen rahasia yang berhasil disusupkan.
Rapat besar pun digelar. Dan hasilnya pemerintah Prancis menyerahkan urusan penyelidikan dan pengejaran Sang Pembunuh Bayaran pada seorang Detektif Pembunuhan yang kariernya sedang menanjak pesat. Claude Lebel.
Bersama Lebel inilah, kita akan menyaksikan cara kerja seorang detektif Prancis untuk mengungkap dan menemukan identitas Sang Jakal, yang melibatkan tujuh petinggi keamanan di tujuh negara.
Lebel yang dibantu oleh Caron sebagai asistennya, sedikit demi sedikit menemukan jejak Sang Jakal. Ia bekerja sama tidak hanya dengan negara-negara di Eropa saja, tapi sampai menyeberang ke belahan benua lainnya.

Kecerdasan Sang Jakal dan Sang Detektif, perlu diacungi jempol. Mereka dua orang yang mempunyai tekad kuat. Berdedikasi terhadap pekerjaannya, tegas dan mempunyai insting yang tajam.
Lebel tahu, bahwa Sang Jakal akan mengumbar aksinya di hari yang tidak akan mungkin dihindari oleh de Gaulle. Hari di mana de Gaulle sebagai Kepala Negara, harus melakukan kegiatan rutin tahunannya.
Hari itu adalah Hari kemerdekaan Prancis, setelah merdeka dari Jerman pada 25 Agustus 1944.
Sang Jakal akan keluar dari persembunyiannya dan menjemput maut Presiden de Gaulle di hari bersejarah itu. Hari bersejarah untuk Prancis. Hari Kemerdekaan, 25 Agustus.

Membaca kisah ini, serasa menyaksikan sebuah film action. Di mana ada suara-suara ketidakpuasaan rakyat atau organisasi tertentu kepada pemerintahan akibat kebijakannya yang dinilai melukai harga diri dan hati mereka.
Pembalasan dendam dengan menghalalkan berbagai cara adalah hal yang mutlak dilakukan.
Bagaimana sensasi tegang dan perasaan mencekam saat pertemuan rahasia antara ketiga petinggi OAS itu berlangsung. Bagaimana mereka harus terus bersembunyi dari satu negara ke negara lainnya di Eropa, demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Merasakan miris dan mual saat menyaksikan interogasi paksa yang dilakukan para polisi dan politisi terhadap tawanan yang mereka culik untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Cara kejam pun akan mereka lakukan.
Ditambah dengan beberapa warga sipil yang harus mati sia-sia akibat keegoisan Sang Jakal.

Kisah ini, terbukti membenarkan tentang paradigma bahwa politik itu kotor dan berlumur darah. Karena bila idealisme yang diperjuangkan, dan harga diri berbicara, apapun akan mereka lakukan. Sekalipun nyawa dan harga diri adalah taruhannya.


Frederick Forsyth lahir di Inggris pada 25 Agustus 1938. Dia menjalani wajib militer dari tahun 1956 – 1958. Pada usia 19 tahun, dia menjadi pilot termuda di Angkatan Udara. Tahun 1961, dia bergabung dengan Reuters kemudian tahun 1965 bergabung dengan BBC.
Pada tahun 1969, dia menulis buku pertamanya yang berjudul The Biafra Story.
The Day of Jackal, pertama kali terbit tahun 1971, menjadi buku laris dan mendapatkan penghargaan novel terbaik Edgar Allan Poe Award 1962.
Novel ini menjadikannya salah satu penulis novel thriller terkemuka, dan termasuk ke dalam salah satu dari 100 novel kriminal terbaik sepanjang masa.
Novel-novel Forsyth bercerita seputar peperangan, intrik internasional, intrik politik, spionase dan kriminalitas lintas negara. Karya-karya lainnya yang juga laris dan mendapat pengakuan secara luas adalah: The Dogs of War, The Odessa File, The Devil’s Alernaive, The Fourth Protocol, The Negotiator, The Deceiver, The Fist of God, Avangher, The Afgan dan The Cobra.
Saat ini dia tinggal di Hertfortshire, Inggris bersama istrinya.
 

10 komentar:

  1. Duuhh..pantesan dia jago banget kan nulis tentang konspirasi ini. Bahkan tentang senjata ini itu,yang buat aku bener2 bingung, bisa ditulisnya dengan baik.

    BalasHapus
  2. eh, itu foto gambarnya si Jackal "hewan" , Nov?

    BalasHapus
  3. "Merasakan miris dan mual saat menyaksikan interogasi paksa yang dilakukan para polisi dan politisi terhadap tawanan yang mereka culik untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan"

    Bener benget nih, aku juga agak jengah waktu baca adegan ini !!

    BalasHapus
  4. Memang jago Forsyth ini menulis dgn detail, tp gak heran, karena latar belakang kariernya juga sih yg pernah menjalani wamil & jadi wartawan perang

    BalasHapus
  5. beneran ya, sadis juga si jakal ini.. dia tega ngebunuh orang-orang ngga berdosa.. apalagi waktu jadi banci itu. ngga bayangin deh. hihihihi

    BalasHapus
  6. Mbak Orybun, Jackal ini emang nama sejenis anjing, yang berbulu kuning dan punya insting membunuh.
    ada kok bahasannya sedikit di buku The Jackal ini. karena itulah si Trio OAS akhirnya julukin si pembunuh bayaran ini dengan sandi Jackal-Jakal. heheh

    BalasHapus
  7. iya, mbak Fanda and Ally aku salut ma si Opa Frederick.
    bisa menciptakan tokoj Jackal dan Lebel yang super cerdas.
    cerdaaaasss banget!

    BalasHapus
  8. Oh iya ada satu adegan yg bikin aku ma Nopnop ketawa. Inget ga saat petinngi pemerintah Prancis yang bilang klo Leebel hebat karena bisa tahu ada sesorang yang terlibat dengan si Jackal hanya karena Lebel menyadap teleponnya.
    Ingetkan apa jawaban si Lebel saat dipuji seperti itu?
    Ngakak gila aku bacanya. hihihihi...

    BalasHapus
  9. bukan hanya warga sipil neng,
    satu orang polisi juga koit dibikin ama kang Jakal,
    wkwkwk

    BalasHapus
  10. hooh bang, saat si polisi muda terkecoh oleh seorang veteran pincang :D

    BalasHapus