Juni 02, 2011

THE OLD MAN WHO READ LOVE STORIES


Resensi oleh Noviane Asmara  
Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta
Penulis : Luis Sepúlveda
Penerjemah : Ronny Agustinus
Tebal : 116; i-xvi Halaman
Harga : Rp 23.500
Cover : Soft Cover
Genre : Sastra
Penerbit : Marjin Kiri
Cetakan : I, 2005

Buku ini secara tak sengaja direkomendasikan oleh Bang David Tobing, ketika saya bersama Bea sedang berbincang-bincang bersama beliau tentang buku-buku yang telah kami baca selama ini. Kami saling memberi masukan buku-buku mana yang bagus menurut versi kami masing-masing. Dan tentunya kami saling menginginkan bila buku bagus yang telah kami baca, dibaca pula oleh teman-teman kami.
Hasilnya, inilah buku The Old Man who Read Love Stories – Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta yang menurut David Tobing bagus dan layak dibaca.
Maka mulailah saya hunting buku ini ke toko buku langganan saya. Dan senang sekali, buku ini dengan mudah saya dapatkan, walaupun bila ditilik dari tahun terbitnya, buku ini terbit pertama kali tahun 2005. Sungguh buku yang terbilang lama.
Rasa penasaran saya terhadap buku setebal 114 halaman ini begitu tinggi, apalagi ketika saya membaca biografi dari Luis Sepúlveda, sang penulis. Saya semakin jatuh cinta saja terhadap buku ini dan dengan segera saya melahapnya.

Buku ini yang berlatar pedalaman Ekuador ini, mengisahkan tentang seorang lelaki bernama Antonio José Bolívar Proaño yang selanjutnya dikenal sebagai Pak Tua.
Ia sadar ia telah beranjak tua, dan memutuskan untuk tinggal di Ildilio dan hidup di sana dengan berburu.
Kedamaian yang awalnya ia rasakan tiba-tiba berubah menjadi teror dan horor. Saat suku Shuar menemukan sesosok mayat orang bule dengan luka yang disinyalir adalah luka bekas cakaran dan cengkeraman binatang buas. Macan Kumbang.
Bersama sahabatnya dr. Rubicundo Loachamin, ia melakukan perjalanan yang melelahkan menembus belantara Amazone.

Ada rasa geli yang menggelitik di hati saya, tatkala memikirkan bagaimana seorang lelaki tua, masih saja suka bahkan sangat tergila-gila dengan buku roman picisan dan kisah cinta. Seperti sebuah novel yang ia baca dengan pembuka yang menawan.
Paul menciumi gadis itu penuh nafsu sementara si pengayuh gondola, kaki tangan perbuatan nekat temannya itu, pura-pura menoleh ke lain arah, dan gondola yang dijajari bantal-bantal empuk itu meluncur gemulai sepanjang kanal Venesia.

Kisah ini sebenarnya sangat simple, tapi muatan dan pesan politik yang ingin disampaikan begitu kental. Betapa issue pembabatan hutan, perburuan binatang yang seharusnya menjadi binatang yang dilindungi serta penambangan emas liar akibat ketamakan manusia dipaparkan sangat lugas oleh Sepúlveda.
Juga tentang Suku Shuar―penduduk asli yang lambat laut terusir oleh para pendatang yang akhirnya berkuasa. Para pemerintah yang korup dan kotor, dan tidak pernah senang terhadap “keadaan” yang disangka akan merugikan mereka. Sepúlveda begitu gamblang menarasikannya lewat seorang Pak Tua.

Di buku ini saya baru menemukan kata-kata baru yang mungkin terdengar janggal bagi saya saat ini. Misalnya kata menyucihamakan. Saya sempat mengerutkan kening untuk memahami kata tersebut. Tapi dengan konteks kalimat yang ada, maka saya menyimpulkan bahwa maksudnya adalah men-sterilekan. Mungin karena kata sterile belum di adop ke dalam bahasa Indonesia. Entahlah, saya belum sempat mengeceknya. Apakah sudah terdapat di KBBI edisi atau belum saat itu.

Menurut Peneliti dari Universitas Puerto Rico, Camilo Gomides dan Joseph Henry Vogel dalam makalah mereka dengan buku ini sebagai kajian akademisnya, menyimpulkan:
“Sebab musabab penggundulan hutan yang mengisi jalan cerita Pak Tua banyak yang terkait erat dengan hasil simpulan ilmuwan yang didapat dari analisa statistic dan pngukuran cermat atas penggundulan hutan tropis…[Namun], fakta bahwa bukti-bukti penelitian ilmiah penggundulan hutan ini baru dipublikasikan pada tahun 1990-an, bertahun-yahun sesudah terbitnya Pak Tua―menunjukkan betapa jelinya mata bedah Sepúlveda.”

Luis Sepúlveda lahir di Cile tahun 1949. Dipenjara oleh rezim diktator militer Augusto Pinochet akibat aktivitas politiknya dalam gerakan mahasiswa dan diasingkan ke luar negeri itu pada usia 26 tahun.
Pada usia 18 tahun ia sudah menyabet penghargaan bergengsi Casa de las Américas 1969 untuk kumpulan cerpennya Crónicas de Pedro Nadie.
Novel pertamanya Un Viejo que leía novellas de amor atau Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta ini mendapat penghargaan Tigre Juan Prize dan terjual sebanyak 30.000 eksemplar dalam cetakan pertamanya. Novel ini pun telah diangkat ke layar lebar dan merebut Pressident’s Award dalam Fort Lauderdale International Film Festival tahun 2001 serta Winner Audience Award dalam Adelaide International Film Festival tahun 2003.
Novel beliau yang lainnya adalah Mundo del fin del mundo (1994), Nombre de Torero (1994), Patagonia Express (1995), Historia de una gaviota y del gato que enseñó a volar atau Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang (1996).

Atas desakan Amnesty International, Sepúlveda dibebaskan setelah 2.5 tahun dipenjara tanpa kepastian hukum.
Bersama keluarganya ia terpaksa mengungsi keluar Cile dan hidup nomaden sepanjang Amerika Latin―Argentina, Brasil, Uruguay, Kolombia, Ekuador dan akhirnya hijrah ke Eropa. Sejak tahun 1980 ia tinggal di Jerman sebagai penulis, sutradara dan Jurnalis.
Kini ia mempimpin Salón del Libro Iberoamericano di Gijón

3 komentar:

  1. wah..saya jadi tertarik untuk baca buku ini. Thanks reviewnya ya mbak ai. Btw, available for swap gak nih?

    BalasHapus
  2. Boleh2...
    Rugi bandar klo ga baca buku ini...
    Menjura buat Sepulveda

    BalasHapus
  3. mba ai jarang aktif di twitter ya?
    ato qta bahas swap2annya di fesbuk aja?kan sma2 BBI ;)

    BalasHapus