Juni 30, 2011

PROPHECY OF THE SISTERS


Resensi oleh Noviane Asmara 

PROPHECY OF THE SISTERS
Penulis : Michelle Zink
Penerjemah : Ida Wajdi
Penyunting : Aisyah
Korektor : Tisa Anggriani
Tebal : 359 Halaman
Harga : Rp 68.500
Cover : Soft Cover
Genre : Dark Fantasy
Penerbit : Matahati
Cetakan : I, Maret 2011

Anak kembar selalu membuat saya takjub. Takjub karena mereka itu unik. Apalagi bila mereka adalah kembar identik. Dari segi fisik, semuanya sama. Postur tubuh, bentuk wajah bahkan kadang sampai kepada sikap dan hobi, walaupun hal-hal yang menyangkut kepribadian akan selalu berbeda.
Tapi ini bukanlah tentang cerita anak kembar yang biasa. Bbagaimana bila ada gadis kembar identik yang sifatnya saling bertolak belakang. Mereka berasal dari satu sel telur yang sama, lahir dari rahim yang sama pula, tapi ketika tumbuh dan berkembang, sifat mereka bagai kutub utara dan selatan. Menjadi dua sosok berbeda, sosok protagonist dan antagonis.

Dalam buku pertama seri Prophecy of the Sisters ini, dikisahkan dua gadis kembar identik berusia 16 tahun, Alice dan Amalia Miltrorpe.
Keduanya tumbuh dan besar bersama dibawah asuhan Bibi Virginia, saat sang Ibu yang merupakan kembarannya meninggal dunia.
Pada usia 16 tahun, kedua gadis kembar itu bersama adik lelaki mereka, Henry yang hidup mengandalkan kursi roda akibat kakinya yang lumpuh, menjadi yatim piatu. Ayah mereka, Thomas Milthorpe, meninggal dengan cara yang tidak wajar, seperti kematian Ibu meraka sebelumnya.

Kematian sang ayah, membawa banyak perubahan terhadap kehidupan Alice, Lia dan Henry Milthorpe.
Mendadak muncul tanda aneh di pergelangan tangan Lia, semacam tato timbul. Jorgumand. Tanda yang menonjol seperti parut luka, dengan pola yang membentuk garis tempat ular itu membelit diri ke tepian lingkaran hingga mulutnya memakan ekornya sendiri.
Kemunculan tanda ini disertai dengan munculnya beberapa kejadian janggal lainnya. Ditemukannya buku berkulit sejuk dan kering berhias rancangan mencetak pola figur-figur aneh dan sangat tua, di perpustakaan milik ayah mereka. Buku yang hanya berisi satu halaman saja, yang memuat tulisan berbahasa latin, yang akhirnya diketahui adalah sebuah ramalan kuno. Ramalan yang kelak menentukan takdir kehidupan si Kembar Milthorpe dan juga yang lainnya.

Melalui api dan harmoni, umat manusia bertahan
Hingga dikirimnya para Garda,
Yang mengambil istri dan kekasih dari seorang pria,
Menimbulkan kemurkaan-Nya
Cerita ini dimulai darr sini :
Dua saudari , terbentuk dari samudra bergelombang yang sama,
Yang satu sang Garda, yang lain sang Gerbang.
Yang satu penjaga kedamaian,
yang lain berukar sihir untuk pemujaan.
Tatkala para Saudari melanjutkan pertempuran
Hingga Sang Gerbang memanggil mereka kembali
Atau sang Malaikat membawa Kunci-Kunci menuju Neraka
Tentara, berbaris melalui Gerbang
Samael, sang Iblis, melalui sang Malaikat
Sang malaikat, hanya dijaga oleh perlindungan selubung halus
Emat tanda, Empat kunci, Lingkaran Api
Terlahir dalam napas pertama Samhain
Dalam bayangan Ular Batu Mistis dari Aubur
Biarkan Gerbang Malaikat mengayun tanpa Kunci
Diikuti Tujuh Tulah dan Tak Kembali
Kematian
Kelaparan
Darah
Api
Kegelapan
Kekeringan
Kehancuran
Rentangkan lenganmu, Nona Kekacauan
Malapetaka sang Iblis akan mengalir seperti sungai
Karena semuanya musnah saat Tujuh Tulah dimulai.

Ramalan tentang kehidupan dua gadis kembar yang diusir ke bumi. Ramalan itu seolah-olah menuntun dan menentukan kehidupan Alice dan Lia pada sebuah misteri dan dendam di masa lalu. Misteri yang telah ada beberapa ribu tahun yang lalu. Misteri yang merenggut kehidupan Ibu dan Ayah mereka, juga para saudari yang berkaitan dengan semua gadis kembar.

Sayangnya, sekarang Alice dan Lia berada di sisi yang berseberangan. Alice berada di sisi kelam, sisi yang telah dipilihnya. Alice yang sejak kecil telah menampakkan tanda-tanda itu. Tapi hal ini makin menjadi setelah kematian ayahnya. Sifat misterius dan bengisnya semakin terlihat. Sedangkan Lia berada di sisi satunya. Dan berniat menyelamatkan dunia semampu yang ia bisa lakukan dengan dukungan teman-temannya. Lia bertekad untuk mengakhiri ramalan itu.

Lia harus terus berjuang dan juga terus mendapatkan teror. Tapi ia tetap bertahan, walau hal itu kadang membuatnya hampir putus asa dan nyaris gila. Bagaimana tidak? Lia harus melawan adik kembarnya sendiri, adik yang telah bersama-sama dengan dirinya bahkan sejak dalam rahim Ibu mereka.
Lia bersama dua orang sahabatnya, Sonia Sorrensen dan Luisa Torelli, secara perlahan-lahan menyingkap selimut misteri yang sangat gelap yang awalnya datang dari sebuah pengkhianatan.

Dan Alice, memilih takdirnya sebagai orang yang melawan Lia. Semua ini ia lakukan karena dendam, ia merasa bahwa seharusnya ialah yang berada di posisi Lia saat ini, bukan Lia yang dalam pandangan Alice sudah merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya.

Lembar demi lembar yang kita baca, menyuguhkan ketegangan dan sensasi yang berbeda. Rasa marah, takut, dendam dan juga cinta, turut hadir menguras emosi para pembaca. Kita tidak disajikan kisah dark fantasy dengan endingnya biasa saja. Tetapi kita akan terhanyut di dalamnya, seolah-olah kita ikut mengembara bersama Lia, dengan merasakan kepedihannya dan rasa dilema untuk memilih. Kita juga akan ikut merasakan sakit hati yang dalam yang diderita Alice.
Kesedihan pun terurai panjang di sini. Bagaimana tatkala Alice dan Lia sekali lagi harus melihat kematian orang yang mereka berdua cintai mati, hanya karena keegoisan mereka.

Ending kisahnya, sungguh mengejutkan, tetapi jujur saya menyukainya, walaupun pada awalnya sulit untuk menerimanya. Saya yakin, buku sekuelnya yang berjudul Guardian of the Gate, akan sama memukaunya dengan buku ini, bahkan mungkin lebih. Begitu juga harapan saya untuk buku ketiganya Circle of Fire.

Michelle Zink tinggal di New York bersama keempat anaknya. Dia selalu terpikat pada mitos dan legenda kuno, serta tak pernah berhenti mempertanyakannya. Tetapi ketika dia menemukan jawaban atas apa yang dicarinya, lahirlah sebuah kisah. Prophecy of the Sisters adalah salah satunya.
Untuk mengenal Zink lebih lanjut dan mengetahui karya lainnya, dapt mengunjungi situs wednya di: www.michellezink.com

THE COUNT OF MONTE CRISTO


Resensi oleh Noviane Asmara 

THE COUNT OF MONTE CRISTO
Penulis : Alexandre Dumas
Penerjemah: Nin Bakdi Soemanto
Penyunting: Dhewiberta
ISBN : 978-602-8811-24-8
Tebal : 568 Halaman
Harga : Rp 55.000
Cover : Soft Cover
Penerbit : Bentang
Cetakan: I, April 2011
Harga : Rp 73.000

Ketika orang disakiti hingga kemudian hidupnya hancur, sangat wajar bila orang tersebut membalaskan dendam dan berusaha membuat hancur balik hidup orang yang pernah menyakitinya. Itu adalah hal yang sangat manusiawi. Begitu pula bagi seorang Edmond Dantes.

Edmond Dantes adalah seorang lelaki muda berumur Sembilan belas tahun yang berprofesi sebagai kelasi pertama. Dia jujur, rajin dan mempunyai semangat luar biasa pada pekerjaannya. Nasib mujur mengantarkannya meraih kesempatan mendapatkan promosi menjadi orang yang paling dipercaya.
Tetapi tidak semua manusia suka atau senang melihat manusia lainnya beruntung. Demikian pula beberapa teman Dantes. Mereka iri dan hasut terhadap keadaan Dantes yang begitu beruntung. Mereka berusaha untuk menyingkirkan Dantes dengan cara yang picik.

Ketika Dantes tengah berbahagia di acara pertunangan dengan Mercedes, gadis yang sangat dia cintai, dia tiba-tiba ditangkap untuk kemudian dipenjara atas tuduhan terhadap sesuatu yang tidak pernah dia lakukan.
Dantes didakwa menjadi mata-mata Bonapartis, karena kebetulan Dantes membawa surat dari penguasa Pulau Elba―Napoleon Bonaparte, untuk diserahkan kepada seseorang di Paris.
Akhirnya Dantes harus pasrah dan menerima kalau dirinya dikirim ke penjara di Château d’if. Dia harus menjalani empat belas tahun kehidupannya di penjara itu.

Di dalam penjara, Dantes hampir-hampir putus asa. Hingga akhirnya saat dirinya dipindahkan ke sel bawah tanah, dia bertemu dengan seorang narapidana lain yang ternyata seorang pendeta dan kelak menjadi ayah angkatnya. Dantes mendapat banyak pelajaran hidup dan ilmu pengetahuan yang luar biasa mengagumkan dari teman barunya ini. Bersama sang pendeta tersebut dia menjalani hari-harinya dengan penuh semangat. Dia pun diberitahu rahasia besar tentang harta karun yang tersimpan di Pulau Monte Cristo. Kelak harta karun inilah yang mengantarkan Dantes membalaskan semua dendamnya terhadap orang-orang yang telah berperan dalam pengkapan dirinya hingga dipenjara.

Akhirnya, hari kebebasan pun tiba. Dantes berhasil melarikan diri dari penjara Château d’if dengan cara yang sungguh cerdik tetapi penuh risiko. Nyawa taruhannya. Dia menyelundupkan dirinya di balik karung yang seharusnya berisi mayat temannya―sang pendeta yang mati karena penyakit.
Ketika karung yang berisi dirinya dilempar ke tengah lautan yang dalam, kesempatan dirinya bebas dengan tetap hidup sangat tipis.
Tetapi Tuhan memperlihatkan kuasa-Nya. Dantes berhasil membebaskan dirinya dan berenang hingga seseorang menolongnya saat dia pingsan akibat kelelahan di tengah lautan.
Setelah bebas dan menemukan dirinya menjadi sosok yang berbeda dari empat belas tahun yang lalu, seiring itu pula rencana balas dendam pun semakin terbuka lebar. Satu mata untuk satu mata, satu gigi untuk satu gigi.

Hari-hari kebebasannya tidak hanya dia pakai untuk membalaskan dendam saja, tapi juga dia isi dengan banyak kebaikan. Di balik rasa sakit hatinya, dia juga adalah seorang yang tahu cara membalas budi dengan datang dan menjelma sebagai dewa penolong di saat yang tepat.
Dantes menyamar menjadi berbagai karakter untuk mencari tahu keberadaan musuh-musuh dan juga orang-orang yang berjasa pada dirinya dan ayahnya saat dia di penjara dulu.
Sebagai contoh saat dirinya menyamar sebagai pegawai dari suatu firma yang membeli semua hutang Morrel―mantan atasannya dulu dan memberikan perpanjangan waktu tiga bulan pada Morrel untuk memenuhi kewajibannya. Sampai akhirnya Morrel bangkit dari keterpurukannya dan berhasil membangun kembali bisnisnya. Tidak hanya itu, Dantes pun memberikan mas kawin yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh putri Morrel.

Dengan harta karun yang dia temukan di Pulau Monte Cristo, dia menjadi kaya raya dan juga berkuasa. Berbekal semua ini lah, satu per satu dendamnya, dia balaskan. Adapun perjalanan kisahnya sampai seorang Edmond Dantes menjadi Count of Monte Cristo ini pun sungguh luar biasa. Dantes telah membuat rencana yang terinci dan cermat hingga hal-hal kecil, yang menghasilkan rencana pembalasan dendam yang sempurna.

Ada satu kata bijak yang mau tidak mau saya setuju dengan kata-kata tersebut.
“...tidak ada kebahagiaan atau ketidak bahagiaan di dunia ini, yang ada hanyalah perbandingan dari satu keadaan dengan yang lain. Hanya seseorang yang merasa putus asa benar mampu merasakan berkat paling tinggi...”.

Monte Cristo adalah sebuah pulau kecil di Italia yang terletak di tengah perjalanan antara Corsica dan Italia Daratan: selatan Elba dan barat Giglio. (Gambar P.Monte Cristo ultimateitaly.com)

The Count of Monte Cristo awalnya diterbitkan dalam Journal des Débats pada 28 Agustus 1844 hingga 15 Januari 1846. Diterbitkan pertama kali di Paris oleh Pétion dalam 18 volume (1844-1845) dan versi lengkap novel ini dalam bahasa Perancis diterbitkan sepanjang abad kesembilan belas.
Novel ini pun sudah diadaptasi ke dalam film dalam berbagai macam versi. Dari mulai serial televisi hingga film layar lebar.

Alexandre Dumas, pére (senior) terlahir dengan nama lengkap Dumas Davy de la Pailleterie, lahir di Villes-Cotteréts pada 24 Juli 1802 dan meninggal di Puys pada 5 Desember 1870 dalam usia 68 tahun karena stroke. Dia adalah penulis berkebangsaan Perancis paling terkenal abad 19, dikenal dengan novel-novel historisnya yang sarat dengan petualangan. Karyanya yang termasyur, The Three Musketeers dan Te Count of Monte Cristo, yang keduanya ditulis hanya dalam rentang waktu dua tahun (1844-1845). Sebagian besar novelnya, termasuk The Count of Monte Cristo dan Roman D’Artagnan, dibuat beeseri. Selain menulis novel, Dumas pun menulis drama, artikel majalah dan merupakan seorang koresponden yang berpengaruh.


The Count of Monte Cristo merupakan buku yang “seksi” karena bukan hanya tebal tapi hurufnya yang kecil-kecil. Dan bagi saya bintang empat layak untuk diberikan pada buku yang berhasil menggambarkan bahwa perbuatan tidak adil yang diterima seseorang, bisa menghasilkan dendam yang besar.
Tetapi saya merasa kurang puas saat tidak diceritakannya dengan lengkap hal-ikhwal penemuan harta karun di Pulau Monte Cristo itu. Terlalu singkat dan terlalu gampang harta karun itu ditemukan. Seolah-olah harta itu hanya disimpan di suatu tempat yang mudah sekali untuk ditemukan tanpa harus berusaha sangat keras.
Tapi sempat saya dibuat mual dan merinding tatkala saya sampai pada bagian Mozaletta―hukuman yang sangat sadis, di mana orang yang menerima hukuman itu harus rela kepalanya dihantam dengan gada untuk kemudian digorok lehernya dan diinjak-injak perutnya sehingga darah akan mengucur deras pada lubang yang menganga di leher akibat gorokan pisau sang algojo. Sungguh hukuman yang sangat tidak berperikemanusiaan. Tetapi ironisnya sangat dinikmati oleh masyarakat yang menyaksikannya kala itu, bahkan kemudian langsung menggelar pesta karnaval yang meriah, seakan-akan hukuman sadis itu tidak pernah berlangsung.

THE HERETIC'S DAUGHTER


Resensi oleh Noviane Asmara 
THE HERETIC'S DAUGHTER: 
Paranoia yang ironisnya menjamur di tengah ketaatan beribadah 
Penulis : Kathlenn Kent
Penerjemah : Leinovar Bahfein
Korektor : Tisa Anggriani
Tebal : 282 Halaman
ISBN : 9786029625554
Cover : Soft Cover
Genre : Historical Fiction
Penerbit : Matahati
Cetakan : I, Mei 2011


Selalu saja menarik untuk saya, bila suatu buku diangkat berdasarkan sejarah yang pernah ada. Karena sejarah menandakan adanya peristiwa yang terjadi di masa lalu. Sejarah tidak dapat diubah sampai kapan pun, bahkan bila hal itu telah melewati beberapa dekade, abad atau milenium sekalipun.

Kali ini Matahati menerbitkan buku dengan judul The Heretic’s Daugter yang ber-genre fiksi sejarah. Buku yang mengambil setting Massachussets di pertengahan abad 17 ini mengangkat isu tentang keberadaan penyihir yang hadir di tengah kehidupan warga.
Isu yang timbul di tengah maraknya wabah cacar yang melanda, dan juga di tengah serangan-serangan brutal orang Indian yang datang berbertubi-tubi. Kesemuanya itu diyakini sebagai bagian dari pekerjaan Iblis.

Kisah berawal dari Keluarga Carrier yang mendadak harus mengungsi dari desanya, karena salah satu anggota keluarga mereka terjangkit penyakit cacar. Mereka terpaksa mengungsi dari Billerica―tempat mereka tinggal, agar tidak menyebarkan virus yang mematikan itu kepada warga Bellarica.
Andover, desa di mana nenek Sarah Carrier dari pihak ibu menetap, menjadi tujuannya. Tetapi Thomas dan Martha Carrier, memutuskan untuk mengungsikan kembali kedua putri mereka, Sarah dan Hannah secara diam-diam ke rumah bibi mereka di Bellarica, karena dikhawatirkan akan tertular cacar juga bila tetap bersama keluarganya.

Di rumah bibinya, Sarah dan Hannah mendapatkan kehidupan yang jauh lebih hangat daripada di rumah mereka sendiri. Sampai-sampai Sarah menjadikan Paman, bibi dan sepupunya itu idolanya.
Sarah tidak pernah tahu, mengapa keluarganya dan keluarga bibinya tidak akur. Yang ia tahu, pamannya tidak seperti yang diceritakan oleh ayah maupun ibunya. Tapi kelak ia mengalami dilema saat perlahan-lahan kebenaran terungkap.

Jika bukan untuk raja, maka untuk negara. Jika bukan untuk negara, maka untuk klan. Jika bukan untuk klan, maka untuk saudaraku. Jika bukan untuk saudaraku, maka tidak lain untuk rumahku.
Kesetiaan kepada keluarga adalah nomor satu. (hal. 126)

Pepatah itulah yang Martha katakan pada Sarah, ketika putrinya itu bertanya ikhwal permusuhan yang terjadi antara Keluarga Carrier dan Toothaker, keluarga pamannya.

Saat wabah cacar mulai mereda, Sarah dan Hannah dijemput kembali oleh ayahnya. Tapi Sarah merasa ada yang salah dengan keluarganya. Sikap ibunya tidak sehangat bibinya di Billerica, padahal mereka adalah kakak-beradik.
Martha Carrier merupakan wanita yang keras, berlidah tajam, kaku dan kukuh terhadap prinsip. Ia tidak menyukai cara hidup tetangganya yang alih-alih terpuji dan berkelakuan baik karena selalu rutin beribadah, malah menjadikan mereka sebagai orang munafik dan selalu berprasangka buruk terhadap orang lain.
Dengan alasan itulah, Martha dan segenap keluarganya dibenci oleh warga Andover. Sampai akhirnya keluarga Carrier dituduh sebagai keluarga yang menganut aliran sesat dan mempraktikkan sihir.

Puncak peristiwa terjadi pada tahun Mei 1692. Pada tahun tersebut banyak wanita di wilayah koloni Massachussets, dari berbagai desa ditangkap dan ditahan kemudian dibawa ke Desa Salem untuk diadili. Mereka dituduh telah melakukan praktik sihir yang menyebabkan kegilaan dan banyak kerusakan.
Hal ini pun menimpa Keluarga Carrier. Mula-mula Martha Carrier ditahan karena tuduhan yang dilakukan warga setempat kepadanya yang menyatakan bahwa ia seorang penyihir. Terbukti dengan selalu menjadi nyata, sumpah serapah dan cacian yang ia layangkan pada warga. Martha pun divonis hukum mati―gantung. Hukumannya bisa menjadi lebih ringan bila ia mau mengakui atas semua yang dituduhkan pada dirinya. Tetapi Martha lebih baik menyerahkan akhir hidupnya di tiang gantungan, daripada harus mengakui hal-hal yang tidak ia pernah lakukan.
Selang beberapa waktu kemudian kelima anaknya, mengalami tuduhan yang sama. Richard, Tom, Andrew, Sarah dan Hannah, harus rela mendekam di penjara dengan tuduhan yang sama kejinya. Mereka masih mempunyai pilihan. Mengaku benar sebagai penyihir dan diringankan dari hukuman, atau bersikukuh bersama idealisme mereka dengan tiang gantungan sebagai ganjarannya.

Ada satu misteri yang hingga buku ini selesai, tetap tidak terungkap. Yaitu isi sebuah buku yang ditulis oleh Martha Carrier selama menikah dengan Thomas Carrier. Buku besar bersampul merah yang diwariskan Martha kepada Sarah, dengan amanat agar buku itu dibaca sampai Sarah siap. Tetapi hingga Sarah berusia 71 tahun, buku yang disinyalir berisi tentang rahasia Thomas Carrier, ayahnya, tidak pernah sanggup Sarah buka. Buku yang menurut ibunya diinginkan oleh sekelompok orang, hingga mereka rela melakukan apa saja untuk mendapatkan buku itu.
Jujur, saya penasaran sekali dengan buku itu. Karena dalam The Heretic’s Daughter ini, sedikit sekali hal yang dibahas tentang masa lalu Thomas Carrier, selain hanya keterangan yang menyebutkan ia adalah seorang puritan dan mantan pengawal raja.

Buku ini menggambarkan bagaimana di abad itu, kehidupan penduduk Massachussets sarat dengan konflik. Konflik sosial, politik dan agama. Disamping harus menghadapi wabah cacar yang disebut sebagai penyakit yang berasal dari iblis, meraka juga harus selalu waspada terhadap serangan beberapa suku Indian yang sering datang dengan tiba-tiba, membantai warga dengan sangat sadis dan bebrapa diculik untuk dimintai tebusan.
Selain serangan penyakit dan serangan fisik yang datang dari luar. Warga Massachussets pun harus menghadapi serangan yang lebih kejam lagi. Fitnah. Dengan ditanamnya benih paranoia, yang menjadikan orang saling tuduh-menuduh untuk menyelamatkan diri sendiri.

Banyak hipotesis telah diutarakan untuk menjelaskan perilaku aneh yang terjadi di Salem pada 1692. Salah satu studi paling konkret, yang diterbitkan di jurnal Science pada tahun 1976 oleh psikolog Linnda Caporael, menyalahkan kebiasaan abnormal para terdakwa pada jamur ergot, yang dapat ditemukan dalam gandum, rumput gandum dan sereal lainnya. Ahli toksikologi ergot mengatakan bahwa makan makanan yang terkontaminasi dapat menyebabkan kejang otot, muntah, delusi dan halusinasi. Selain itu, jamur yang tumbuh subur di iklim yang hangat dan lembap―tidak terlalu berbeda dengan padang rumput lebak di Desa Salem, di mana gandum sebagai bahan pokok selama musim semi dan musim panas.

Sepintas mengenai Sejarah Kota Salem.
Kota Salem adalah satu-satunya kota di dunia yang diakui sebagai kota sihir yang sangat penuh misteri. Kota sihir yang benar-benar ada, tepatnya di Negara bagian Massachussets. Kota ini secara resmi telah ditetapkan sebagi Kota Sihir oleh Michael Dukakis, Gubernur Massachussets pada masa itu.
Kota ini ditetapkan sebagai kota sihir karena di kota ini pernah terjadi peristiwa yang sangat mengerikan. Peristiwa The Salem Witch Trial, peristiwa di mana lebih dari 150 penduduk kota ini ditangkap, diadili dan dihukum hanya karena dianggap mempraktikkan sihir.

Membaca The Heretic’s Daughter, membuat cairan empedu saya naik merayap ke tenggorokan. Menjadikan sulit untuk bernapas beberapa saat dan jantung yang seolah-olah berdetak tiga kali lebih kencang dari biasanya. Mual, menegangkan sekaligus mendebarkan. Itu sensasi yang saya rasakan.
Alurnya pun semakin lama semakin cepat. Dan kata-kata yang terangkai cukup mudah diikuti dan dipahami.

Kathleen Kent tinggal di Dallas bersama suami dan anaknya. The Heretic's Daughter adalah novel pertamanya. Sebagian besar buku yang telah memengaruhi dan menyentuhnya adalah fiksi sejarah.
Saat kecil buku favoritnya adalah The Quincunx karya Charles Palliser, "Instance of the Fingerpost karya Iain Pir, The Weight of Water karya Anita Shreve, dan The Source karya James Mitchener.
Saat ini ia sedang membaca sebuah buku berjudul "The Home Long" karya William Gay yang menurutnya merupakan salah satu penulis fiksi terbaik di Amerika saat ini.

Juni 07, 2011

MATH DOENT SUCK


Resensi oleh Noviane Asmara

 
MATH DOESN’T SUCK
Penulis : Danica McKellar
Penerjemah: Nuniek Ratnindyah
Penyunting: Jia Effendie & Ida Wajdi
Pewajah Isi : Yenny Renati
ISBN : 978-979-1411-70-7
Tebal : 347 Halaman
Harga : Rp 60.000
Cover : Soft Cover
Penerbit : Atria
Cetakan: I, April 2011


Bukan mau sombong atau pamer, tapi memang sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, saya selalu suka dengan pelajaran matematika. Pelajaran yang saat itu (mungkin hingga kini) banyak dibenci dan dihindari oleh orang, terutama anak sekolah. Tapi tidak untuk saya.
Mungkin saya tergolong orang yang tidak suka dengan pelajaran yang berbau hafalan. Saya benci bila pelajaran seperti Ilmu Pengetahuan Sosial atau PPKN tiba. Saya benci harus membaca dan menghafalkan tentang nama negara dan ibukotanya atau harus terjerambab semalaman hanya untuk menghafalkan Pancasila beserta butir-butirnya yang (jujur) tidak pernah bisa saya hafal sampai sekarang.
Tetapi lain halnya bila pelajaran favorit saya―matematika tiba. Saya akan semangat 45 mendengarkan penjelasan dari guru dan mengerjakan soal matematika sesulit apapun. Tidak pernah sedikitpun saya merasa terbebani oleh PR matematika seperti kebanyakan teman-teman saya lainnya. Sekali lagi, bukan mau sombong yah. Tolong dicatat >.<

Terbukti, saat kuliah pun saya dengan mantap mengambil jurusan Akuntansi, di mana sudah pasti sebagaian besar mata kuliahnya adalah soal hitung-menghitung.
Terlebih pekerjaan saya sekarang pun tidak jauh-jauh dari angka. Tiap harinya saya harus berkubang dengan seabreg dokumen yang isinya hanya kolom dan angka. Dan di setiap akhir bulan pun saya harus merajut laporan yang bahan bakunya angka dan pernak-perniknya. Hasil rajutan pun komposisinya 90% angka yang dihiasi beberapa narasi dari untaian huruf. Berkutat dengan angka dan aneka ragam “aksessoris”nya menimbulkan kesenangan sendiri. Ada sensasi, tantangan dan misteri di dalamnya.

Kembali pada buku Math Doesn’t Suck. Buku setebal 347 halaman ini, bukan novel lho. Kamu nggak bakal menemukan tokoh antagonis berupa vampir jahat atau naga iblis . Dan jangan pula berharap bertemu tokoh protagonis berupa cowok keren yang jagoan. Karena sekali lagi ini bukan buku fiksi fantasi seperti kebanyakan buku fantasi keren yang sudah diterbitkan Atria.
Tapi, kamu nggak perlu galau juga dan pesimis akan isi bukunya yang pasti kamu banyangkan sebagai buku yang kaku dan tak lebih dari buku panduan pelajaran matematika.
Buku berkover cewek cantik dan seksi yang berkata “Matematika sama sekali ngga menyebalkan, kok! Dan pintar itu seksi” ini terdiri atas enam bagian.
Setiap bagiannya mengandung kata gampang.
Bagian I: Faktor dan Kelipatan itu Gampang
Bagian II: Bilangan Pecahan itu Gampang
Bagian III: Bilangan Desimal itu Gampang
Bagian IV: Persentase juga Gampang
Bagian V : Soal Cerita itu Gampang
Bagian VI: Aljabar pun Nggak Menyebalkan

Nah, dilihat dari enam bagian yang masing-masing tiap bagiannya mengandung beberapa bab yang akan menyeramarakkan isi bukunya saja sudah bikin kita tertarik kan? Apa iya matematika itu gampang seperti yang McKellar sesumbarkan?
Jangan salah, membaca buku ini dijamin nggak akan bosan, karena didalamnya bukan melulu tentang angka, tetapi ada cerita-cerita yang dibuat sesuai tema yang sedang dibahas. Sehingga kita akan merasa bukan sedang membaca buku pelajaran matematika, tetapi akan lebih terasa seperti membaca cerita sambil belajar matematika.

Saya ambil contoh Bahasa Universal Cinta ... dan Matematika
Dalam bahasa matematika, terdapat begitu banyak abjad, bilangan dan simbol yang bisa digunakan dalam “pernyataan” atau “persamaan”, seperti 1 + 3 = 4. Ini adalah cara yang jauh lebih cepat daripada mengatakan, “Jika kita menambahkan satu dan tiga, hasilnya adalah empat.” Bahasa matematika memiliki cara yang sangat efisien untuk menyampaikan ide-ide seperti itu.
Fakta juga menunjukkan bahwa di negara mana pun di Eropa, Amerika, dan kebanyakan negara-negara Afrika dan Asia, masyarakatnya menggunakan bilangan dan simbol-simbol matematika yang sama. Banyak negara dan kota-kota yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa kita. Kalau kita mengunjunginya, mungkin kita tidak memahami bahasa bahasa mereka, tetapi kita bisa memahami matematika mereka. Kebanyakan masyarakat lebih memahani “bahasa matematika” daripada bahasa-bahasa lain di seluruh dunia. Bahkan, bahasa matematika begitu universal sehingga banyak orang percaya, jika alien atau makhluk luar angkasa menghubungi kita, mereka pasti akan menggunakan “bahasa” matematika.

Satu lagi kelebihan yang ditawarkan McKellar dalam buku pertamanya ini, yaitu adanya Tips, dengan diksinya Jalan Pintas yang ada di setiap babnya. Di Jalan Pintas ini, kita akan dituntun bagaimana membuat sesuatu yang jelimet itu diurai menjadi gampang.
Tapi agar para pembacanya pun nggak terbuai dengan tips dan trik, dan melupakan apa yang dibacanya saat itu, McKellar menantang kamu untuk mengerjakan Tugas Matematika yang sudah ia siapkan di setiap babnya.
Jadi kita bisa belajar, bermain dan mempraktikkanya langsung. Nah, kamu nanti bisa mencocokkan hasil tugas matematika yang telah kamu kerjakan dengan kunci jawaban yang disediakan oleh McKellar tanpa rasa pelit.
Oh iya, kamu juga nggak bakalan mendadak jadi anak kurang gaul gara-gara membaca buku ini. Karena seperti yang saya sebutkan di atas, kamu pun akan bermain pula di sini. Kamu akan mengetahui apa kata zodiak tentang kamu dan matematika.

Masih ragu dan berpikir kalau matematika itu menyebalkan?
Saya sarankan baca, pahami dan bermainlah dengan McKellar dalam Math Doesn’t Suck ini, niscaya kamu akan sepakat bahwa Matematika itu Nggak Menyebalkan.



Danica Mae McKellar lahir pada 3 Januari 1975. Selain sangat popular berkat perannya sebagai Winnie Cooper dalam serial TV The Wonder Years dan sebagai Elsie Snuffin dalam The West Wing, Danica McKellar juga seorang matematikawan yang telah diakui secara internasional, serta seorang penasehat pendidikan matematika.
Sejak diterbitkan, Math Doesn’t Suck menjadi buku terlaris di Amerika Serikat. Nama Denica muncul di halaman muka surat-surat kabar dan diberi gelar “Person of The Week” oleh ABC World News with Charles Gibson. Danica menerima penghargaan dari Journal of Physic, jurnal terkemuka di Inggris, serta dari New York Times atas karyanya di bidang matematika, terutama atas perannya sebagai ko-penulis dalam tim penemu teorema fisika matematika, yaitu The Chayes-McKellar-Winn Theorem.
Kesuksesan buku pertamanya ini disusul oleh buku keduanya yang berjudul Kiss My Math: Showing Pre Algebra Who’s Boss tahun 2008. Lalu menyusul buku ketiganya dengan judul Hot X: Algebra Exposed. Ketiga bukunya ini masuk dalam The New York Times Best Seller.
Saat ini, perempuan yang memiliki jadwal akting yang padat tetapi tetap mengutamakan perhatiannya kepada pendidikan matematika ini tinggal di Los Angeles, California

Juni 02, 2011

BEASTLY


Resensi oleh Noviane Asmara 
 
BEASTLY :Beauty and The Beast Abad 21
Penulis : Alex Flinn
Penerjemah : Harisa Permatasari
Penyunting : Prisca ari & Esti A. Budhihabsari
Proofreader : Ocllivia D.P.
Tebal : 409 Halaman
ISBN : 978-979-433-612-0
Harga : Rp 45.000
Cover : Soft Cover
Genre : Fantasy
Penerbit : Mizan Fantasi
Cetakan : I, Maret 2011


Menjadi tampan itu sebuah anugerah, apalagi bila ditambah dengan penampilan fisik yang sempurna, kaya bahkan (mungkin) berotak cemerlang. Siapapun bakal bersyukur bila dikaruniai penampilan dengan nilai fisik 100 itu.
Tapi, bagaimana bila semua itu hanya tampilan luar yang tidak dibarengi oleh sikap yang terpuji pula. Bagaimana jika ketampananlah, membuat seseorang harus terjebak dalam keadaan paling buruk. Menjadi buruk rupa dan tidak diinginkan. Menjadi bumerang dan berbalik melawan diri sendiri.

Itulah yang terjadi pada Kyle Kingsbury, seorang cowok remaja 16 tahun berbadan tinggi tegap, mempunyai mata biru cemerlang plus rambut pirang yang indah. Bonus lainnya adalah ia anak seorang pembaca berita terkenal dan super tajir.
Keadaan itu menjadikan Kyle banyak digandrungi para cewek di Tuttle, sekolah elit untuk para anak orang kaya sekaligus disegani teman-teman cowoknya dan juga guru-guru karena sang ayah yang memiliki pengaruh besar.
Kyle terbiasa mendapatkan apa yang diinginkannya, bahkan walau harus dengan cara buruk dan merugikan orang sekalipun. Sanjungan dan pujian menjadi hal yang terlalu biasa untuknya. Tapi keadaan itu menjadikan ia tidak sadar dan peka terhadap lingkungan sekitar. Ia menjadi begitu egois, bermulut besar, mudah meremehkan orang, suka menindas dan kejam. Ia lupa bahwa bahwa keberuntungan yang bersifat genetis dan sementara itu menjauhkannya dalam pencapaian diri.

Kisah ini dibuka dengan sebuah chat group yang beranggotakan para “korban” yang mempunyai masalah yang sama. Menjadi buruk rupa karena perilaku mereka sendiri. Room chat yang diasuh oleh Mr.Anderson ini diadakan demi saling berbagi kisah dan mencari solusi untuk membebaskan para “korban” dari keadaan yang sekarang.

Adalah Kyle Kingsbury yang menggunakan nickname BeastNYC di chat group. Saat ini ia berubah menjadi makhluk mengerikan. Makhluk setengah binatang setengah monster yang berbulu dan bercakar. Tapi bukan serigala atau kodok ataupun beruang seperti di cerita dongeng kebanyakan.

Semuanya berawal saat Kyle mengajak Kendra Hilferty, cewek gotik dengan mata hijau yang aneh, hidung yang terlalu panjang dan bengkok plus gendut ke pesta dansa sebagai kencannya. Di sisi lain, Kyle pun telah mengajak Sloane Hagen, cewek terseksi dan popular di Tuttle sebagai kencannya ke acara pesta dansa. Pasangan yang memang berimbang dan serasi.
Kendra yang akhirnya menyadari bahwa Kyle dan Sloane telah merencanakan semuanya demi mempermalukan dirinya yang bukan apa-apa tak lebih dari bagian permainan mereka. Saat itu, Kyle telah membuat kesalahan yang fatal yang membawa hidupnya pada dunia yang gelap, dunia di mana dia harus puas dengan wujud barunya yang mengerikan karena menjadi si buruk rupa dan terisolasi dari dunianya yang dulu yang menawarkan seabreg kemudahan.

Kendra telah mengubah Kyle menjadi buruk rupa. Karena seperti itulah rupa Kyle yang sesungguhnya menurut Kendra. Kendra yang sebenarnya adalah penyihir yang sedang menguji Kyle dan ternyata Kyle tidak lulus dalam ujiannya itu.
Selama menjadi buruk rupa, Kyle harus menerima ia dibuang oleh ayahnya dan tidak mempunyai teman selain Magda―seorang wanita tua yang menjadi pelayan dan menemani Kyle selama dalam pengasingannya. Juga ada Will yang disewa oleh Mr. Rob Kingsbury, ayah Kyle untuk menjadi tutor bagi putranya selama masih menjadi buruk rupa dan tidak bisa bisa berbaur bebas seperti sebelumnya.
Keadaan Kyle bisa kembali seperti semula, asalkan ia dapat mematahkan mantra yang dikutukkan oleh Kendra pada dirinya. Kyle harus bisa menemukan cinta sejatinya―menemukan seorang gadis yang mencintai ia apa adanya dan menciumnya.

Perjuangan Kyle dalam mencari cinta sejatinya tidak semudah yang ia bayangkan, apalagi tenggat waktu dua tahun yang diberikan kepadanya akan segera usai. Ia harus segera menemukan gadis yang tulus mencintainya atau akan terjebak dalam raga buruk rupa sepanjang hidupnya.
Ketika cinta sejati itu nyaris ia dapatkan, ia harus merelakan cinta sejatinya pergi dan berpasrah diri bahwa memang menjadi buruk rupa adalah takdir yang digariskan untuknya. Kyle harus melepaskan Linda Owens demi kebahagiaan gadis itu. Gadis yang telah mengubah semua sifat buruk dalam dirinya. Lindy yang telah berhasil mengenalkan Kyle pada rasa kasih tanpa pamrih, lebih peka terhadap orang lain dan tidak egois. Dan juga membuat dirinya jatuh cinta pada gadis sederhana itu.

Ending yang disodorkan oleh Flinn, tentunya sangat khas dengan kisah-kisah dari Hollywood. Happy ending. Karena sejak awal kita memang sudah diingatkan, bahwa novel ini mengadaptasi kisah Beauty and the Beast dengan setting modern.
Alex Flinn yang ternyata adalah seorang penulis perempuan ini mampu memindahkan zaman Beauty and the Beast ke New York yang super modern dengan segala hingar-bingarnya tanpa gagap. Dan Kastel Beast pun berubah menjadi sebuah apartemen mewah yang menyediakan segala alat penunjang informasi yang canggih dan dipenuhi ratusan buku keren.
Kisah buku yang merupakan International Reading Association Young Adult Choice, 2009 ini menampilkan sosok tokoh dengan karakter yang kuat dan nyata. Rasakan saja kekejaman yang dilakukan Kyle dan sinisnya Sloane, hingga ingin rasanya bisa mendapatkan kesempatan untuk menampar mulutnya yang pedas. Juga sosok Lindy, yang teramat manusiawi yang memang kontras bila dipadankan dengan Kyle.
Saya sangat menyukai sosok Lindy, bukan karena digambarkan ia seorang gadis baik dengan penampilannya standar, tetapi karena ia begitu menggemari buku. Buku menjadi satu-satunya teman dikala ia kesepian dan selalu menjadi damai dengan membaca. Tengoklah buku-buku yang telah dibaca dan selalu menjadi farovitnya; Jane Eyrn, Soneta Shakespeare, A Little Pricess.

Alex Flinn lahir di kota kecil Long Island, New York. Ketika berusia lima tahun ibunya berkata, bahwa kelak ia seharusnya menjadi seorang penulis. Penulis favoritnya adalah Astrid Lindgren, Beverly Cleary, Judy Blume, Marilyn Sachs, dan Laura Ingalls Wilder. Ia bahkan sudah membaca A Little Princess karya Frances Hodgson Burnett sekitar 50 kali. Ia sudah mempunyai beberapa karya young-adult. Dan beberapa di antaranya yaitu adalah adaptasi dongeng anak-anak yang terkenal seperti The Frog Prince dan Sleeping Beauty.

Beberapa kalimat bijak tersebar di buku yang kental dengan nuansa romansa ini.
Sesuatu terlihat cantik, bukan berarti berkualitas bagus.(hal.263)
Sesuatu yang memiliki kecantikan dari dalam akan hidup untuk selamanya, seperti harum bunga mawar. (hal.263)
Orang-orang sangat mementingkan penampilan, tetapi setelah itu, saat kau sudah mengenal seseorang dengan baik, kau bahkan tidak memperhatikan penampilannya lagi. (hal. 299)
Mungkin kita terlalu menilai orang dari penampilannya, akrena itu lebih mudah daripada harus melihat sesuatu yang memang benar-benar penting. (hal. 381)

Satu hal yang saya kurang saya sukai, yaitu kover. Awalnya saya mengira kover ini mengambil freeze frame salah satu adegan di film, karena karya Alex Flinn ini memang sudah diadaptasi ke layar lebar dengan judul yang sama, dengan pemerannya Alex Pettyfer dan Vanessa Hudgens. Tetapi ternyata kover bukan adaptasi film. Tokoh cewek dan cowok yang terlihat di kover ini menurut saya ada yang miss dan tak terlihat chemistry yang terjalin di sana.
Andaikan dibuat sebagai gambar ilustrasi atau dengan edisi movie sekalian, mungkin akan tampak lebih cool.
Tapi, buku ini cocok dibaca sebagai pengantar tidur yang tidak akan membuat kamu tertidur karena rasa bosan.

THE OLD MAN WHO READ LOVE STORIES


Resensi oleh Noviane Asmara  
Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta
Penulis : Luis Sepúlveda
Penerjemah : Ronny Agustinus
Tebal : 116; i-xvi Halaman
Harga : Rp 23.500
Cover : Soft Cover
Genre : Sastra
Penerbit : Marjin Kiri
Cetakan : I, 2005

Buku ini secara tak sengaja direkomendasikan oleh Bang David Tobing, ketika saya bersama Bea sedang berbincang-bincang bersama beliau tentang buku-buku yang telah kami baca selama ini. Kami saling memberi masukan buku-buku mana yang bagus menurut versi kami masing-masing. Dan tentunya kami saling menginginkan bila buku bagus yang telah kami baca, dibaca pula oleh teman-teman kami.
Hasilnya, inilah buku The Old Man who Read Love Stories – Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta yang menurut David Tobing bagus dan layak dibaca.
Maka mulailah saya hunting buku ini ke toko buku langganan saya. Dan senang sekali, buku ini dengan mudah saya dapatkan, walaupun bila ditilik dari tahun terbitnya, buku ini terbit pertama kali tahun 2005. Sungguh buku yang terbilang lama.
Rasa penasaran saya terhadap buku setebal 114 halaman ini begitu tinggi, apalagi ketika saya membaca biografi dari Luis Sepúlveda, sang penulis. Saya semakin jatuh cinta saja terhadap buku ini dan dengan segera saya melahapnya.

Buku ini yang berlatar pedalaman Ekuador ini, mengisahkan tentang seorang lelaki bernama Antonio José Bolívar Proaño yang selanjutnya dikenal sebagai Pak Tua.
Ia sadar ia telah beranjak tua, dan memutuskan untuk tinggal di Ildilio dan hidup di sana dengan berburu.
Kedamaian yang awalnya ia rasakan tiba-tiba berubah menjadi teror dan horor. Saat suku Shuar menemukan sesosok mayat orang bule dengan luka yang disinyalir adalah luka bekas cakaran dan cengkeraman binatang buas. Macan Kumbang.
Bersama sahabatnya dr. Rubicundo Loachamin, ia melakukan perjalanan yang melelahkan menembus belantara Amazone.

Ada rasa geli yang menggelitik di hati saya, tatkala memikirkan bagaimana seorang lelaki tua, masih saja suka bahkan sangat tergila-gila dengan buku roman picisan dan kisah cinta. Seperti sebuah novel yang ia baca dengan pembuka yang menawan.
Paul menciumi gadis itu penuh nafsu sementara si pengayuh gondola, kaki tangan perbuatan nekat temannya itu, pura-pura menoleh ke lain arah, dan gondola yang dijajari bantal-bantal empuk itu meluncur gemulai sepanjang kanal Venesia.

Kisah ini sebenarnya sangat simple, tapi muatan dan pesan politik yang ingin disampaikan begitu kental. Betapa issue pembabatan hutan, perburuan binatang yang seharusnya menjadi binatang yang dilindungi serta penambangan emas liar akibat ketamakan manusia dipaparkan sangat lugas oleh Sepúlveda.
Juga tentang Suku Shuar―penduduk asli yang lambat laut terusir oleh para pendatang yang akhirnya berkuasa. Para pemerintah yang korup dan kotor, dan tidak pernah senang terhadap “keadaan” yang disangka akan merugikan mereka. Sepúlveda begitu gamblang menarasikannya lewat seorang Pak Tua.

Di buku ini saya baru menemukan kata-kata baru yang mungkin terdengar janggal bagi saya saat ini. Misalnya kata menyucihamakan. Saya sempat mengerutkan kening untuk memahami kata tersebut. Tapi dengan konteks kalimat yang ada, maka saya menyimpulkan bahwa maksudnya adalah men-sterilekan. Mungin karena kata sterile belum di adop ke dalam bahasa Indonesia. Entahlah, saya belum sempat mengeceknya. Apakah sudah terdapat di KBBI edisi atau belum saat itu.

Menurut Peneliti dari Universitas Puerto Rico, Camilo Gomides dan Joseph Henry Vogel dalam makalah mereka dengan buku ini sebagai kajian akademisnya, menyimpulkan:
“Sebab musabab penggundulan hutan yang mengisi jalan cerita Pak Tua banyak yang terkait erat dengan hasil simpulan ilmuwan yang didapat dari analisa statistic dan pngukuran cermat atas penggundulan hutan tropis…[Namun], fakta bahwa bukti-bukti penelitian ilmiah penggundulan hutan ini baru dipublikasikan pada tahun 1990-an, bertahun-yahun sesudah terbitnya Pak Tua―menunjukkan betapa jelinya mata bedah Sepúlveda.”

Luis Sepúlveda lahir di Cile tahun 1949. Dipenjara oleh rezim diktator militer Augusto Pinochet akibat aktivitas politiknya dalam gerakan mahasiswa dan diasingkan ke luar negeri itu pada usia 26 tahun.
Pada usia 18 tahun ia sudah menyabet penghargaan bergengsi Casa de las Américas 1969 untuk kumpulan cerpennya Crónicas de Pedro Nadie.
Novel pertamanya Un Viejo que leía novellas de amor atau Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta ini mendapat penghargaan Tigre Juan Prize dan terjual sebanyak 30.000 eksemplar dalam cetakan pertamanya. Novel ini pun telah diangkat ke layar lebar dan merebut Pressident’s Award dalam Fort Lauderdale International Film Festival tahun 2001 serta Winner Audience Award dalam Adelaide International Film Festival tahun 2003.
Novel beliau yang lainnya adalah Mundo del fin del mundo (1994), Nombre de Torero (1994), Patagonia Express (1995), Historia de una gaviota y del gato que enseñó a volar atau Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang (1996).

Atas desakan Amnesty International, Sepúlveda dibebaskan setelah 2.5 tahun dipenjara tanpa kepastian hukum.
Bersama keluarganya ia terpaksa mengungsi keluar Cile dan hidup nomaden sepanjang Amerika Latin―Argentina, Brasil, Uruguay, Kolombia, Ekuador dan akhirnya hijrah ke Eropa. Sejak tahun 1980 ia tinggal di Jerman sebagai penulis, sutradara dan Jurnalis.
Kini ia mempimpin Salón del Libro Iberoamericano di Gijón