Mei 31, 2011

WUTHERING HEIGHTS: Pembalasan Dendam atas Nama Cinta



Resensi oleh : Noviane Asmara
 
Judul : WUTHERING HEIGHTS: Pembalasan Dendam atas Nama Cinta
Penulis : Emily Brontë
Alih Bahasa : Lulu Wijaya
Tebal : 488 halaman, 20 cm
Harga : Rp 55,000
ISBN : 978-979-22-6278-9
Cover : Soft Cover
Genre : Sastra Klasik
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, April 2011


Cinta memang ajaib. Dapat dengan sekejap membuat bahagia dan tak selang berapa lama mengubahnya menjadi benci.
Bagaimana seseorang yang dulu begitu sangat mencintai orang yang dikira adalah belahan jiwanya tiba-tiba berubah menjadi sosok yang teramat mendendam.
Bagaimana seseorang kehilangan kekasih hati dengan menanggung kerinduan yang selalu menyiksanya dan menghantuinya hingga maut datang.
Dan semua itu karena Cinta.

Adalah Heatcliff, tanpa nama belakang dan tanpa asal usul yang jelas. Datang sebagai ‘oleh-oleh’ yang dibawa oleh Mr. Earnshaw dalam perjalanan pulang berbisnisnya dari London. Ia ditemukan terlantar di jalanan kota London. Dan akhirnya atas kebaikan hati ia diadopsi oleh Mr. Earnshaw, pemilik Wuthering Heights yang berumur singkat. Ia tumbuh bersama kedua anak Mr. Earnshaw. Catherine Earnshaw, seorang gadis muda bandel dan judes tetapi penuh gairah, yang mau menjadikan Heatcliff teman bermain. Dan Hindley ,anak lelaki Earnshaw yang tidak sudi menjadikan Heatcliff saudara angkatnya dan memusuhinya sepanjang hidupnya.

Sepeninggal Earnshaw tua, kehidupan Heatcliff di Heights mulai berubah. Hindley yang telah membencinya sejak dulu kini menjadi tuan rumah Heights dan memperlakukan Heatcliff begitu buruk bak seorang pelayan.
Kebencian demi kebencian tumbuh dengan cepat di Wuthering Heights. Seiring dengan perasaan cinta antara Heatcliff dan Chaterine pun kian berkembang. Heatcliff menginginkan Chaterine dan tidak berniat untuk kehilangannya, karena ia ingin selalu menjaga dan menjadikan Catherine belahan jiwanya. Cinta yang begitu egois dan posesif.

Perubahan sikap terjadi pada Cahterine, saat ia dan Heatcliff bermain dan tersesat di Thrushscross Grange―kediaman keluarga Linton. Rumah yang ditinggali oleh keluarga yang 180 derajat berbeda keluarga Earnshaw dari segi kebiasaan dan perilaku. Keluarga terhormat dan terpandang yang mengutamakan  nilai-nilai sosial dalam lingkungan. Di sana Catherine bertemu dengan Edgar Linton, anak lelaki tampan, berkulit putih dan mempunyai rambut pirang yang kelak dipilih Catherine sebagai pasangan hidupnya.

Aku mencintai tanah yang dipijak kakinya, dan udara di atas kepalanya, dan segala yang disentuhnya, dan setiap kata yang diucapkannya. Aku mencintai setiap penampilannya, dan setiap perbuatannya, dan dirinya seluruhnya dan sekaligus.” (hal.114)

Heatcliff pergi dan menghilang. Melarikan diri dari kenyataan bahwa dirinya tak layak dipilih oleh Catherine yang ia cintai sejak kecil, hanya karena perbedaan strata sosial. Dia merasa terkoyak antara kemarahan dan penghinaan yang ia derita karena cinta.
Tapi tiga tahun kemudian Heatcliff muncul kembali ke Gimmerton dengan berbalut pribadi yang berbeda. Seorang pria kaya dan berpendidikan. Dan yang terburuk, ia datang membawa selusin kebencian dan rencana pembalasan dendam yang tak terperi.
Kedatangannya mengubah kehidupan Catherine yang sudah tenang menjadi bergejolak kembali, akibat perasaan yang sama-sama mereka pendam untuk saling mencintai sekaligus menyakiti satu sama lain.

Andai aku bisa terus memelukmu, sampai kita berdua mati! Aku takkan peduli dengan penderitaanmu. Kenapa kau tidak boleh menderita? Aku menderita! Apakah kau akan melupakanku? Apakah kau akan bahagia kalau aku sudah dikubur? Apakah kau akan berkata dua puluh tahun lagi, ‘itu makam Catherine Earnshaw'. Aku pernah mencintainya dahulu sekali, dan hatiku hancur saat kehilangan dia; tapi itu sudah berlalu.” (hal.229)

Pembalasan dendam bersemi akibat benci dan sakit hati yang telah mengakar kuat di hati Heatcliff yang kelam. Hati di mana rasa sayang telah mati dan tidak ada tempat untuk sebongkah empati.
Sebuah dendam yang akibatnya harus ditanggung oleh orang-orang yang tidak mengerti apa itu dendam, yang mengubah mereka menjadi iblis sesat layaknya Heatcliff si pembawa virus jahanam itu.
Pembalasan dendam yang harus ditebus dengan harga mahal sekali. Harga yang tidak akan pernah setara apabila semua nyawa tak berdosa dari keturunannya dicabut paksa.

Berlatar belakang dari dataran Yorkshire di abad ke-18 yang kasar dan liar, Wuthering Heights adalah kisah gairah kerinduan yang tak terkendali sekaligus upaya balas dendam yang melekat kental.
Membaca kisah ini jangan berharap akan menemukan akhir cerita yang bahagia. Cerita yang sejak halaman pertama dibuka sudah menyajikan alur yang mau tak mau memaksa kita untuk mulai ikut membenci setiap tokohnya yang egois dan tak berhati sekaligus memberi rasa iba dan sakit hati yang luar biasa dalam dan menyiksa.
Kelam dan suram, itulah kata yang pantas untuk menggambarkan novel yang terbit pertama kali tahun 1847 ini. Emosi kita seakan terkuras habis dan tak menyisakan sedikit pun air mata untuk sekedar berduka. Sesak napas yang melandaku saat membacanya semakin menambah aura suram yang terpancar dan sulit untuk memulihkannya. Terasa hidup dalam dunia abu-abu dan hitam tanpa segarispun putuh membentang di antaranya, di mana tawa dan bahagia adalah hal tersulit bahkan menjadi mustahil untuk dimiliki.

Walau begitu bintang lima tidaklah menjadi mustahil dan layak disandangkan untuk kekelaman cerita yang lahir dari buah pikir cemerlang seorang Emily Brontë di zamannya.

Emily Brontë (1818-1848) adalah anak kedua dari tiga bersaudari Brontë yang termasyur. Bersama saudara lelaki mereka, mereka tumbuh di desa Haworth di kawasan Yorkshire yang terpencil, tanpa pendidikan formal dan perhatian yang cukup. Peka, pemalu, dan amat tertutup, dan sama sekali tak sanggup menerima pendisiplinan apa pun, Emily Brontë menulis satu jilid puisi yang digubah dengan cermat. Dia mencurahkan pikiran-pikiran rahasia dari jiwanya yang tersiksa ke dalam Wuthering Heights (1847), buku yang mengangkat namanya menjadi tokoh besar dalam kesusastraan Inggris.

FIRELIGHT

Resensi oleh : Noviane Asmara

Detail Buku:
Judul : FIRELIGHT : Ketika Naluri Terbang tak kan Pernah Padam
Penulis : Sophie Jordan
Penerjemah: Ferry Halim
Penyunting: Ida Wajdi
Pewajah Isi : Aniza
ISBN : 978-979-024-475-7
Ukuran : 13 x 20,5 cm
Tebal : 425 Halaman
Harga : Rp 55,000
Cover : Soft Cover
Penerbit : Atria
Cetakan: I, April 2011


Aku Cuma tahu aku tidak bisa hidup tanpa terbang. Tanpa langit dan tanah lembap yang mampu bernapas. Aku tidak akan pernah rela menyerahkan kemampuanku untuk berubah wujud.

Tentunya kita tidak asing dengan makhluk-makhluk campuran di dunia fiksi. Sebut saja Demigod; manusia setengah dewa, Dhampir; manusia setengah vampir atau Warewolf; manusia setengah serigala. Tapi bagaimana bila makhluk tersebut adalah manusia setengah naga―tepatnya manusia yang memiliki gen naga dan bisa berubah menjadi makhluk yang mempunyai keahlian seperti naga. Draki. Itulah sebutan untuk makhluk itu.

Apa gunanya keselamatan bila bagian dalam dirimu mati?

Jacinda harus menerima takdirnya. Terlahir dari keluarga yang tidak ‘biasa’. Ia adalah seorang atau lebih tepatnya seekor draki. Berwujud manusia seperti umumnya gadis-gadis seusianya, namun menyimpan gen naga dalam darahnya yang berwarna ungu―darah yang khas dimiliki kaum draki. Dan bisa berubah wujud saat ia menginginkannya.
Ketika emosi meninggi, naluri draki pun muncul. Di saat sedang ketakutan, bersemangat, bergairah … naluri draki akan muncul.


Jacinda adalah seorang draki spesial. Draki penyembur api yang di dalam kelompoknya telah absen lebih dari empat ratus tahun. Untuk itulah ia dipilih oleh kelompoknya untuk dinikahkan dengan Cassian―Draki Onyx yang merupakan seorang alpha di kelompoknya. Hidup Jacinda berada di bawah kendali kelompoknya. Karena sejak keunikan sekaligus kelebihannya sebagai seorang draki terlihat, ia tak punya hak lagi untuk memutuskan hidupnya sendiri.
Berbeda dengan Tamra sang adik kembarnya yang merupakan draki cacat dan tidak berguna bagi kelompoknya sekaligus tak dipedulikan.

Suatu hari Jacinda melakukan kesalahan dengan mengubah dirinya menjadi draki dan terbang di atas wilayah bukan milik kelompoknya, wilayah yang tidak terjaga oleh kabut Nidia.
Hal tersebut berujung pada kecelakaan yang menimpa dirinya akibat diburu oleh para pemburu draki yang sadis dan tamak.
Bukan hanya uang. Ketamakan. Selain ketamakan akan darah, kulit, dan tulang draki―yang konon mampu menjadi obat penyembuh bagi manusia―draki diburu karena harta benda mereka. Batu permata yang merupakan warisan nenek moyang draki sekaligus penghubung kekuatan naluri draki yang dimiliki.

Jacinda bukan hanya membawa celaka pada dirinya sendiri tapi sekaligus musibah untuk kelompoknya akibat kecerobohan dan kelalaian yang diperbuat.
Sebagai hukumannya, Severin Sang Alpha bersama kelompoknya telah menetapkan sesuatu yang menurut mereka ‘pantas’ dan sudah seharusnya Jacinda terima.
Ibu Jacinda tidak bisa menerima putusan hukuman itu. Putusan yang ia pahami hanya dengan sekilas saja tetapi tidak pernah dipahami oleh Jacinda.
Putusan yang tidak hanya menikahkan Jacinda dengan Cassian dengan tujuan untuk “dibiakkan” agar menghasilkan draki-draki dengan kualitas tangguh dan super.

Sejak saat itulah, kehidupan Jacinda berubah. Ibunya dengan terpaksa dan secara diam-diam membawa Jacinda dan Tamra pergi meninggalkan kelompoknya.
Ibu Jacinda bermaksud untuk membaur di tengah-tengah kehidupan manusia normal guna menjadi manusia seutuhnya tanpa sentuhan naluri draki muncul di dalam diri putrinya, Jacinda. Karena di dalam dirinya pun, naluri draki itu sudah padam saat ayah Jacinda tewas.
Berbeda dengan Tamra yang dengan sukacita menerima lingkungan barunya. Berbaur dengan teman-teman manusianya tanpa sedikitpun merasa kesulitan, karena memang pada dasarnya Tamra adalah draki cacat yang sampai kapan pun tidak akan bisa berubah menjadi draki seperti Jacinda kakak kembarnya.

Tetapi kiamat untuk Jacinda. Berbaur di tengah-tengah manusia normal, membuat naluri drakinya perlahan-lahan luntur, dan ia tidak menghendaki hal ini terjadi. Ia ingin tetap selalu bisa menjadi draki sejati seperti sang ayah yang sudah tiada. Bisa selalu terbang melintasi awan biru tanpa batas serta menyemburkan api.

Di tengah kegundah-gulananya antara memilih kembali ke kelompoknya dan mengikuti kemauan sang Ibu yang berniat menjaganya dari hukuman mengerikan yang akan dijatuhkan padanya senadainya ia kembali ke kelompoknya, Jacinda terperangkap dalam permainan cinta seorang Will. Pemuda teman sekolahnya yang mampu membangkitkan naluri drakinya, bahkan di gurun gersang sekalipun.

Perlahan-perlahan kebenaran itu terungkap. Will menyimpan rahasia yang tidak bisa ia bagi dengan Jacinda. Will yang telah memaksa Jacinda memilih antara keingingannya yang begitu egois atau keselamatan keluarga dan kaumnya.

Pembaca di sini akan dibawa pada suatu tempat indah di mana siapa pun yang datang mengunjunginya, akan kembali tanpa mengingat apa pun akan tempat itu. Mahkluk-makhluk unik berwujud naga dapat terlihat terbang dengan anggunnya.
Tetapi kita akan dibuat kesal dan jengkel akan betapa egoisnya seorang Jacinda. Sifat egois yang berlebihan yang dimiliki gadis usia 16 tahun yang selalu menuntut pembuktian dan pembenaran atas pelarangan yang ditetapkan.
Dapat dirasakan pula pengorbanan seorang Ibu yang begitu besar dan tak pernah lelah untuk selalu terus berada di sisi anak-anaknya dalam setiap kondisi. Tak peduli dengan penolakan yang diberikan sang anak sebagai balasannya.
Kisah romansa pun turut mewarnai Firelight semakin menjadi hidup dan manusiawi. Walau selalu terjebak dalam cinta terlarang, cinta yang datang dari dua dunia yang berbeda. Cinta yang mengharuskan si jahat dan si baik tetap berada pada koridornya.
Sensasi menegangkan juga bisa terhirup tajam di kisah ini, saat acara kejar-kejaran draki dan para pemburunya berlangsung.

Novel yang mempunyi kover unik dengan hiasan hologram melingkari apik huruf yang dicetak timbul berukir kata Firelight adalah buku pertama dari Trilogi Firelight. Buku keduanya Vanish baru akan rilis 6 September mendatang di negara asalnya.

Sophie Jordan tumbuh di Texas Hill, tempat di mana ia menciptakan tokoh-tokof fantasinya: naga, prajurit dan putri. Ia adalah mantan guru Bahasa Inggris. Saat sedang tidak menulis, ia menghabiskan waktunya dengan menikmati latte dan diet coke yang disukainya. Selain menulis buku dengan genre fantasi untuk pembaca muda dewasa, Jordan juga menulis buku dengan genre roman paranormal dengan menggunakan Sharie Kohler sebagai nama penanya.
Saat ini ia tinggal di Houston bersama keluarganya.
Untuk mengetahui sepak terjang lebih jauh, silahkan berkunjung ke situs webnya di: www.sophiejordan.net


Resensi buku lainnya dapat dilihat di www.buntelankata.blogspot.com