April 19, 2011

THE LAWS OF MAGIC #1 : Blaze of Glory

Resensi : Noviane Asmara

Penulis : Michael Pryor
Penerjemah: Nina Setyowati
Penyunting: Melody Violine
Pemerikasa Aksara : Helena Theresia
ISBN : 978-979-024-473-3
Tebal : 554 Halaman
Harga : Rp 79.900
Penerbit : Ufuk
Cetakan: I, Januari 2011

Blaze of Glory merupakan buku pertama dari seri Trilogi The Laws of Magic.
Buku ini mengisahkan Aubrey Fitzwilliam seorang pemuda tanggung yang paling berbakat dalam sihir di Sekolah Stonelea. Sejak kecil, sudah terlihat jelas bahwa Aubrey memiliki kemampuan sihir yang telah muncul dalam keluarganya selama berabad-abad.
Aubrey berperawakan kurus dan tinggi, tetapi penuh dengan rasa ingin tahu, nekat dan mempunyai ambisi yang besar terhadap sihir. Kesehariannya di Sekolah Stonela, Aubrey habiskan bersama sahabat karibnya, George Doyle, seorang pemuda cerdas, yang sama sekali tidak terlihat cerdas. Mereka selalu melakukan segala jenis eksperimen sihir. Sampai suatu hari, Aubrey melakukan sebuah eksperimen sihir yang berbahaya. Sihir terlarang yang sebenarnya tidak boleh dia lakukan. Sihir Maut.
Dan efeknya terus melekat pada diri Aubrey sepanjang hidupnya.

Sebuah surat formal dari sang ayah, Darius Fitzwilliam, mengantarkan Aubrey dan George ke dalam petualangan seru. Untuk pertama kalinya, Darius meminta Aubrey mewakili dirinya untuk datang ke acara berburu yang diadakan oleh Pangeran Albert.
Saat hari itu tiba, di tengah ramainya acara perburuan berlangsung, yaitu berburu Burung Stymphalian, terjadi hal yang menggemparkan.
Seorang pengawal penjaga pos pengamatan berburu ditemukan tewas dengan dua buah luka di kepalanya. Aubrey mencoba untuk menyelidiki misteri kematian pengawal tersebut dengan kekuatan sihir. Sekali lagi dia mencoba sihir maut untuk menembus waktu saat peristiwa itu terjadi.
Melalui penglihatannya, Aubrey tahu bahwa si pembunuh adalah sesosok makhluk mengerikan yang dikenal sebagai Golem.
Makhluk yang telah dibuat oleh sesorang untuk melaksanakan perintahnya. Aubrey kemudian menyadari bahwa Golem itu berniat membunuh Pangeran Albert. Beruntunglah Aubrey dan George bertindak cepat, sehingga Pangeran berhasil diselamatkan.

Beberapa waktu setelah peristiwa tersebut, terjadi dua pembunuhan secara beruntun. Kematian Dr.Tremaine Sang Ahli Sihir Kerajaan dan Profesor Hepworth, pemikir besar, Sang Peneliti Sihir dengan karya-karya teori sihirnya. Kematian keduanya dipastikan oleh sesuatu yang berhubungan dengan sihir.
Akhirnya bersama dengan putri Profesor Hepworth, Caroline, Aubrey dan George melakukan penyelidikan demi menemukan dalang di balik pembunuhan itu.
Trio penyelidik dadakan itu sedikit demi sedikit menemukan benang merah kenapa seseorang menginginkan Profesor dan Putra Mahkota mati. Mengapa pula seseorang itu membunuh Dr. Mordecai Tremaine. Dan apa hubungan semuanya dengan hilangnya Sir Fitzwilliam secara tiba-tiba. Siapa yang akan diuntungkan dari kematian mereka.
Kekompakkan dan kesolidan tim kecil itu, berhasil membongkar semuanya. Berhasil menemukan pembunuh yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.

Sepertiga awal buku ini masih terasa datar, belum tampak kejutan-kejutan yang berarti. Dan alurnya sangat lambat. Tapi begitu menginjak di duapertiga bagian buku, semuanya berlangsung cepat dan penuh kejutan. Petualangan dan kejadian-kejadian seru mulai menghiasi dan membuat ceritanya lebih hidup.
Digambarkan bagaimana Aubrey mempraktikkan sihir maut-nya ketika berusaha menembus waktu untuk melihat adegan kala pembunuhan terhadap si penjaga pos pengamatan berburu terjadi.

Tetapi saya sedikit direpotkan dengan bertebarannya istilah-istilah ilmiah yang wara-wiri dalam buku ini, walaupun dijabarkan arti dari istilah-istilah tersebut. Misalnya:
Hukum Kontiguitas. Kedekatan. Prosimitas.
Hukum Propensitas adalah hokum tentang kecenderungan benda terhadap tindakan tertentu.
Hukum Resonansi yang menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, tindakan dan benda bisa meninggalkan jejak di sekitar mereka.

Adapun kesalahan cetak atau typo yang terjadi, tidak begitu berarti dan tidak mengurangi keseruan membaca petualangan Aubrey ini.
Hanya sedikit ada rasa tidak nyaman terhadap hasil dari terjemahannya. Serasa kurang pas, sehingga ruh-nya tidak terlalu melekat sempurna. Atau mungkin juga faktor dan proses editing yang kurang bias memberikah ruh pada buku ini. Sehingga, walaupun ceritanya sampai pada puncak, tapi greget yang didapat tidak terlalu meledak dan memuaskan saya sebagai pembaca.

Satu catatan yang dapat menjadi sebuah referensi tentang sihir. Baron Verulam dengan pandangannya yang menggemparkan sekitar tiga ratus tahuin yang lalu. Yang mengawali kelahiran sihir modern, yang membawa sihir keluar dari zaman kegelapan yang penuh dengan takhayul dan tipu daya. Verulam bersikeras, bahwa sihir seharusnya diperlakukan secara ilmiah, melalui percobaan dan pengamatan yang merupakan unsur-unsur pendekatan empiris. Dengan landasan itu, Verulam berusaha membangun hokum-hukum yang konsisten, sehingga hasil-hasilnya dapat diuji kembali.
Sihir modern tumbuh dari sihir kuno, seperti alkemi yang setengah gila dan setengah intuitif melahirkan ilmu pengetahuan kimia modern yang rasional.
Perkembangan teknologi melampaui perkembangan sihir, karena satu aspek yang penting. Sihir hanya bisa dilakukan oleh sedikit orang dengan bakat alami. Kecenderungan ini membuat manusia memperhatikan kekuatan-kekuatan sihir, dan kemampuan untuk melihat pengaruh sihir dalam cara yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain. Kemampuan bisa ditingkatkan dengan ketekunan belajar, tapi tanpa kapasitas sihir yang merupakan bawaan sejak lahir, mantra-mantra tidak bisa diakltifkan.
Inilah yang terjadi pada Aubrey Fitzwilliam, sang tokoh utama Blaze of Glory.

Rasanya tidak sabar menunggu Heart of Gold dan Word of Honour, kelanjutan dari seri Trilogi The Law of Magic ini terbit.

Michael Pryor lahir di Swan Sill, Victoria tahun 1957. Masa kecilnya dia habiskan di Victoria dan Melbourne sebelum pindah ke Geelong saat usianya 10 tahun. Dia tinggal di Geelong hingga masuk universitas di Melbourne. Dia mengajar Bahasa Inggris, Sastra, Drama, Ilmu Hukum dan Ilmu Komputer. The Laws of Magic Series  telah terpilih tiga kali untuk Aurealis Award dan juga telah dinominasikan untuk Ditmar Award. Saat ini dia tinggal di Melbourne bersama istri dan kedua putrinya.

ESPERANZA RISING


Judul : ESPERANZA RISING
Resensi : Noviane Asmara
Penulis : Pam Muñoz Ryan
Penerjemah: Maria M. Lubis
Penyunting: Jia Effendie
Penyelaras Aksara : Ida Wajdi
Pewajah Isi : Aniza
ISBN : 978-979-024-473-3
Ukuran : 13 x 20,5 cm
Tebal : 238 Halaman
Harga : Rp 38.000
Cover : Soft Cover
Penerbit : Atria
Cetakan: I, Maret 2011

Kita semua bagaikan phoenix. Bangkit kembali, dengan kehidupan baru di hadapan kita

Itulah kenyataan yang harus dihadapi oleh Esperanza. Dalam kebeliaannya, dia harus menanggung beban hidup yang teramat berat.
Esperanza Ortega, anak semata wayang Sixto Ortega, pemilik perkebunan luas di Meksiko. Dia adalah pewaris tunggal perkebunan itu.
Sejak kecil, hidupnya sempurna. Penuh dengan keceriaan dan kehangatan. Dia dicintai oleh Ramona, sang Ibu yang cantik jelita dan ayah yang sangat memanjakannya. Dia pun selalu dilayani semua kebutuhannya oleh Hortensa yang telah mengasuhnya sejak dia masih bayi.
Kesempurnaan hidup yang telah dia jalani, tiba-tiba terhenti. Takdir telah mempecundanginya. Kehidupannya berubah menyedihkan, tepat satu hari sebelum ulang tahunnya yang ketiga belas. Ayah tercinta yang selalu mengajaknya ke perkebunan dan mengajarinya banyak hal, ditemukan tewas dibunuh oleh para bandit saat sedang bekerja memperbaiki pagar di tepi terjauh perkebunan.
Sungguh Ironis, hari di mana seharusnya menjadi hari yang paling bahagia bagi sang Mija, hari itu juga menjadi hari terkelam dalam hidupnya.

Selepas ayahnya meninggal, Esperanza dan Ibunya, hanya diwariskan rumah yang mereka tempati. Esperanza tidak bisa mendapatkan perkebunan yang telah menyatu dengan hidupnya, hanya karena dia seorang anak perempuan dan masih kecil. Akhirnya perkebunan luas pun harus jatuh ke tangan kakak tiri Ortega, Tio Lucas dan Tio marco, seorang bankir dan walikota yang licik dan culas.

No hay rosa sin espinas. Tidak ada mawar yang tidak berduri.”
Tidak ada kehidupan tanpa kesulitan.
Itulah yang Abuelita, sang nenek katakan pada Esperanza. Dalam tiap satu langkah kehidupan, selalu dibarengi dengan satu kesulitan tetapi selalu disertai pula dengan satu kemudahan.
Tio Luis tidak puas hanya dengan memiliki perkebunan luas adiknya, dia pun berniat memperistri Ramona.
Hanya ada dua pilihan bagi Ramona. Menerima pinangan Tio Luis dan kembali menjadi Nyonya pemilik perkebunan tetapi terpisah dari Esperanza atau pergi berimigrasi ke Amerika Serikat bersama mantan pelayannya, Alonso dan Hortensa untuk bekerja sebagai buruh kasar tetapi masih bisa hidup bersama anaknya sang Mija, Esperanza terkasih.

Ramona akhirnya memutuskan untuk pergi ke Amerika Serikat secara diam-diam. Dia bersama Esperanza kini harus berjuang hidup sebagai rakyat jelata. Menjalani kehidupan sebagai orang miskin yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Ternyata, sang Dewi Fortuna masih enggan memberikan keberuntungannya pada Esperanza. Di tempat ia ditampung di perkebunan, ia harus melakukan beberapa pekerjaan kasar. Menjaga bayi, mencuci popok dan menyapu balai pertemuan. Belum lagi hinaan dan sarkasme yang harus ia terima dari orang-orang yang bersikap buruk padanya. Sementara sang Ibu harus membanting tulang tiap harinya, demi sen yang sangat diperlukannya.
Bertubi-tubi kemalangan terus mendera Esperanza. Saat Ibunya sakit keras dengan mengidap Demam Lembah, dia dipaksa oleh keadaan untuk bekerja lebih keras lagi, demi menyambung hidupnya dan pengobatan Ibunya.
Dia yang tumbang hari ini, mungkin bangkit esok hari.
Keadaan yang keras menempanya menjadi seorang pribadi yang kuat. Esperanza menjadi sosok yang pantang menyerah dan selalu optimis.
Dan dia bertekad untuk mengubah keadaannya dan mendapatkan kembali kesempurnaan hidupnya yang dulu pernah dia miliki.

Orang kaya akan lebih kaya jika dia jatuh miskin, daripada orang miskin yang menjadi kaya.
-Pepatah Meksiko

Buku yang bersetting Aguascalientes, Meksiko 1924 ini, masih kental dengan tatanan sosial yang tajam. Di mana sekelompok orang menguasai berekar-ekar tanah dan perkebunan, sementara sebagian besar lainnya, harus puas hanya dengan menjadi pelayan dan buruh rendahan yang tidak akan pernah bisa mendapatkan kehidupan yang layak. Jurang pemisah diantara dua kelompok itu begitu menganga lebar dan tidak akan pernah bisa dilewati.
Hal ini menimbulkan banyak pemberontakan efek dari kecemburuan sosial yang tumbuh dalam kehidupan masyarakatnya. Perampokkan merajalela, bandit-bandit tumbuh bak jamur setiap harinya.
Akibatnya, banyak warga Meksiko yang berimigrasi ke Amerika Serikat hanya untuk memperoleh peruntungan baru, dengan bekerja di perkebunan-perkebunan California dan Oklahoma.
Tetapi kemudian terjadi Repatriasi Meksiko tahun 1939. Pemerintah Federal Amerika menetapkan Aksi Deportasi, yang memberikan kekuasaan kepada daerah-daerah untuk mengirimkan banyak orang Meksiko kembali ke Meksiko.

Perjuangan panjang penuh pengorbanan dan air mata ini, dialami oleh Esperanza Ortega, nenek dari Pam Muños Ryan sang penulis.

Resensi ini dapat dilihat juga di www.buntelankata.blogspot.com